Masalah Serius Akses Pembiayaan di Era Digital
Menanggapai hal tersebut, Muslimin, Pengamat Ekonomi
yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung mengatakan bahwa
sektor keuangan memang menjadi salah satu hambatan daya saing Indonesia. Hal
ini bisa di lihat dari indeks pembangunan keuangan Indonesia.
“Peringkat Indonesia pada pembangunan sektor keuangan
menempati posisi paling buncit dibandingkan negara-negara pendiri ASEAN
lainnya. Index Financial Development
Indonesia pada tahun 2014, sebagai data terakhir yang bisa perbandingkan,
memiliki skor 0,34. Jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai
dua kali lipat, apalagi dibandingkan dengan Singapura,” kata Muslimin kepada katalampung.com.
Muslimin
menambahkan bahwa ada dua ukuran besar dalam pembangunan sektor keuangan
ini, yaitu institusi keuangan perbankan dan institusi pasar modal. Dari aspek
akses, kedalaman, efisiensi dan institusinya sendiri, Indonesia hanya menang
dari negara-negara anggota baru ASEAN. Sedangkan jika dibandingkan dengan
negara pendiri ASEAN, posisi Indonesia cukup memprihatinkan.
“Dari dua indikator pembangunan sektor keuangan
tersebut, sepertinya Indonesia harus mengambil prioritas pembangunan institusi
keuangan perbankan dalam pembangunan sektor keuangannya. OJK sebagai otoritas
yang secara langsung mensupervisi institusi keuangan perbankan, harus dapat
mendorong institusi perbankan lebih berperan dalam peran tradisionalnya sebagai
lembaga intermediasi keuangan,” ujar Muslimin.
Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, kredit yang
disalurkan perbankan hanya sebesar 36,52% dari GDP, jauh dibandingkan dengan
Malaysia atau Thailand yang mencapai lebih dari 120% dari GDP-nya. Kita
bandingkan dengan Malaysia dan Thailand karena dua negara ini bersama
Indonesia, dalam analisis Diamond,
dikatagorikan memiliki keunggulan kompetitif yang sama, dari aspek sumber daya
alam dan buruh yang murah. Keberanian dua negara itu dalam melakukan ekspansi
kredit, tentu tidak lepas dari dukungan kebijakan pemerintahnya, dalam
mendukung pembiayaan sektor riil yang berbasis luas, atau dapat dikatakan lebih
inklusif dari Indonesia.
Saat dikonfirmasi terkait keberhasilan inklusi
keuangan, Alumnus Pascasarjana UGM ini mengatakan bahwa memang masih banyak Pekerjaan rumah yang
harus dikerjakan oleh regulator keuangan di Indonesia, khususnya OJK, dan itu
harus bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai stakeholders untuk mendorong
inklusi keuangan di masyarakat.
“Sebenarnya kita lihat saja dari trend yang positif dan
terus meningkat dari indek pembangunan sektor keuangan dan komponen
pembentuknya. Yang dibutuhkan saat ini adalah memperkuat sektor finansial ini
sebagai back-up aktivitas sektor riil
masyarakat".
Menurut Muslimin, Inklusi keuangan pada prinsipnya
adalah bagaimana memberikan akses masyarakat, khususnya berpenghasilan menengah
ke bawah, agar dapat menikmati fasilitas-fasilitas, apakah produk atau jasa,
dari insitusi keuangan.
Dikatakan Muslimin, jika perbankan serius, janganlah
memberikan charge biaya administrasi
para penabung berpenghasilan rendah atau anak sekolah. Hal ini akan mendorong keengganan
untuk menabung. Oleh sebab itu, dianggap wajar jika indeks inklusi keuangan
Indonesia rendah. Mengingat belum terlihatnya secara riil kebijakan institusi
keuangan, khususnya perbankan, memberikan kebijakan afirmatif kepada masyarakat
miskin atau berpenghasilan menengah ke bawah.
Lebih jauh lagi, muslimin juga menerangkan hubungan
antara inklusi keuangan dan cashless
society (kalangan yang dalam
transaksi keuangannya tidak lagi menggunakan uang tunai, tetapi sudah dalam
bentuk kartu, baik berupa kartu kredit, kartu debit, maupun cash card, red).
Inklusi keuangan jelas dari lahirnya, pro-poor,
namun tidak dengan cashless society.
Studi di India justru melihat cashless
society itu melukai masyarakat miskin, yang menjadi tujuan sekaligus
sasaran keuangan inklusi. Cashless
society bahkan menjadi hambatan bagi sektor informal, sektor ekonominya
masyarakat miskin. Maksudnya memang baik untuk mendorong formalisasi ekonomi
sektor informal, untuk transparansi dan menghilangkan black money, tapi untuk kasus di negara-negara berkembang, cashless society justru menjadi hambatan
perkembangan sektor informal.
Hal ini bisa dibuktikan, seberapa besar perputaran digital money cashless society dan siapa
saja societynya. No poor people.
Saat disinggung masalah kesiapan masyarakat desa
menerima gelombang perkembangan Financial
Technology (Fintech), Muslimin mencoba membandingkannya dengan fenomena Silicon Valley.
“Bloomberg edisi September 2017 itu memuat berita yang
menarik, bahwa krisis ekonomi dan keuangan justru harus melihat Silicon Valley,
pusatnya teknologi informasi. Artinya apa?, perkembangan perusahaan-perusahaan
teknologi start-up yang mengembangkan
uang digital sebagai alat transaksi diantara mereka mampu menggoyang posisi
para bankir di Wall Street. Dalam
konteks menurunkan biaya modal, keberadaan fintech ini setidaknya mampu
memberikan efek kejut bagi dunia perbankan untuk menurunkan tingkat bunga
kreditnya dan berinovasi, kalau tidak, masyarakat akan berpaling kepada fintech
yang lebih murah dari institusi perbankan," ungkap dia.
Dampaknya, bank akan mengalami credit crunch (Pergeseran
kurva penawaran kredit perbankan dengan kondisi suku bunga dan kualitas nasabah
potensial tidak berubah, red) sebagai akibat masyarakat lebih memilih
fintech sebagai sumber pendanaannya. Fintech memberikan alternatif untuk
akselesari masyarakat kepada sumber pendanaan usahanya, bahkan sampai
perdesaan. Namun hal itu harus diikuti oleh regulasi, dan disinilah peran OJK.
Fintech di Abu Dhabi, Singapura dan Inggris,
diterangkan Muslimin, melakukan
kolaborasi dengan regulator keuangan, sehingga digital money yang dikeluarkan
oleh Fintech menjadi lebih aman dan dapat dikontrol oleh regulator keuangan.
Dalam konteks ini, Fintech dan OJK, akan lebih masif mendorong program-program
keuangan inklusif sekaligus the real
cashless society. (gsi)