Masalah Serius Akses Pembiayaan di Era Digital

BANDARLAMPUNG, katalampung.com - Baru-baru ini World Economic Forum (WEF) merilis Indeks Daya Saing setiap Negara di seluruh dunia. Dari hasil rilis tersebut diketahui bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 137 Negara dengan nilai Indeks 4,7. Lebih lanjut, akses pembiayaan menjadi salah satu masalah utama tersendatnya daya saing Indonesia dibandingkan dengan Negara lain diseluruh Dunia.

Masalah Serius Akses Pembiayaan di Era Digital
Muslimin, S.E., M.Si (Akademisi FEB Unila)

Menanggapai hal tersebut, Muslimin, Pengamat Ekonomi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung mengatakan bahwa sektor keuangan memang menjadi salah satu hambatan daya saing Indonesia. Hal ini bisa di lihat dari indeks pembangunan keuangan Indonesia.

“Peringkat Indonesia pada pembangunan sektor keuangan menempati posisi paling buncit dibandingkan negara-negara pendiri ASEAN lainnya. Index Financial Development Indonesia pada tahun 2014, sebagai data terakhir yang bisa perbandingkan, memiliki skor 0,34. Jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai dua kali lipat, apalagi dibandingkan dengan Singapura,” kata Muslimin kepada katalampung.com.

Muslimin  menambahkan bahwa ada dua ukuran besar dalam pembangunan sektor keuangan ini, yaitu institusi keuangan perbankan dan institusi pasar modal. Dari aspek akses, kedalaman, efisiensi dan institusinya sendiri, Indonesia hanya menang dari negara-negara anggota baru ASEAN. Sedangkan jika dibandingkan dengan negara pendiri ASEAN, posisi Indonesia cukup memprihatinkan.

“Dari dua indikator pembangunan sektor keuangan tersebut, sepertinya Indonesia harus mengambil prioritas pembangunan institusi keuangan perbankan dalam pembangunan sektor keuangannya. OJK sebagai otoritas yang secara langsung mensupervisi institusi keuangan perbankan, harus dapat mendorong institusi perbankan lebih berperan dalam peran tradisionalnya sebagai lembaga intermediasi keuangan,” ujar Muslimin.

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, kredit yang disalurkan perbankan hanya sebesar 36,52% dari GDP, jauh dibandingkan dengan Malaysia atau Thailand yang mencapai lebih dari 120% dari GDP-nya. Kita bandingkan dengan Malaysia dan Thailand karena dua negara ini bersama Indonesia, dalam analisis Diamond, dikatagorikan memiliki keunggulan kompetitif yang sama, dari aspek sumber daya alam dan buruh yang murah. Keberanian dua negara itu dalam melakukan ekspansi kredit, tentu tidak lepas dari dukungan kebijakan pemerintahnya, dalam mendukung pembiayaan sektor riil yang berbasis luas, atau dapat dikatakan lebih inklusif dari Indonesia.

Saat dikonfirmasi terkait keberhasilan inklusi keuangan, Alumnus Pascasarjana UGM ini mengatakan bahwa  memang masih banyak Pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh regulator keuangan di Indonesia, khususnya OJK, dan itu harus bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai stakeholders untuk mendorong inklusi keuangan di masyarakat.

“Sebenarnya kita lihat saja dari trend yang positif dan terus meningkat dari indek pembangunan sektor keuangan dan komponen pembentuknya. Yang dibutuhkan saat ini adalah memperkuat sektor finansial ini sebagai back-up aktivitas sektor riil masyarakat".

Menurut Muslimin, Inklusi keuangan pada prinsipnya adalah bagaimana memberikan akses masyarakat, khususnya berpenghasilan menengah ke bawah, agar dapat menikmati fasilitas-fasilitas, apakah produk atau jasa, dari insitusi keuangan.

Dikatakan Muslimin, jika perbankan serius, janganlah memberikan charge biaya administrasi para penabung berpenghasilan rendah atau anak sekolah. Hal ini akan mendorong keengganan untuk menabung. Oleh sebab itu, dianggap wajar jika indeks inklusi keuangan Indonesia rendah. Mengingat belum terlihatnya secara riil kebijakan institusi keuangan, khususnya perbankan, memberikan kebijakan afirmatif kepada masyarakat miskin atau berpenghasilan menengah ke bawah.

Lebih jauh lagi, muslimin juga menerangkan hubungan antara inklusi keuangan dan cashless society (kalangan yang dalam transaksi keuangannya tidak lagi menggunakan uang tunai, tetapi sudah dalam bentuk kartu, baik berupa kartu kredit, kartu debit, maupun cash card, red). Inklusi keuangan jelas dari lahirnya, pro-poor, namun tidak dengan cashless society. Studi di India justru melihat cashless society itu melukai masyarakat miskin, yang menjadi tujuan sekaligus sasaran keuangan inklusi. Cashless society bahkan menjadi hambatan bagi sektor informal, sektor ekonominya masyarakat miskin. Maksudnya memang baik untuk mendorong formalisasi ekonomi sektor informal, untuk transparansi dan menghilangkan black money, tapi untuk kasus di negara-negara berkembang, cashless society justru menjadi hambatan perkembangan sektor informal.

Hal ini bisa dibuktikan, seberapa besar perputaran digital money cashless society dan siapa saja societynya. No poor people.

Saat disinggung masalah kesiapan masyarakat desa menerima gelombang perkembangan Financial Technology (Fintech), Muslimin mencoba membandingkannya dengan fenomena Silicon Valley.

“Bloomberg edisi September 2017 itu memuat berita yang menarik, bahwa krisis ekonomi dan keuangan justru harus melihat Silicon Valley, pusatnya teknologi informasi. Artinya apa?, perkembangan perusahaan-perusahaan teknologi start-up yang mengembangkan uang digital sebagai alat transaksi diantara mereka mampu menggoyang posisi para bankir di Wall Street.  Dalam konteks menurunkan biaya modal, keberadaan fintech ini setidaknya mampu memberikan efek kejut bagi dunia perbankan untuk menurunkan tingkat bunga kreditnya dan berinovasi, kalau tidak, masyarakat akan berpaling kepada fintech yang lebih murah dari institusi perbankan," ungkap dia.

Dampaknya, bank akan mengalami credit crunch (Pergeseran kurva penawaran kredit perbankan dengan kondisi suku bunga dan kualitas nasabah potensial tidak berubah, red) sebagai akibat masyarakat lebih memilih fintech sebagai sumber pendanaannya. Fintech memberikan alternatif untuk akselesari masyarakat kepada sumber pendanaan usahanya, bahkan sampai perdesaan. Namun hal itu harus diikuti oleh regulasi,  dan disinilah peran OJK.

Fintech di Abu Dhabi, Singapura dan Inggris, diterangkan Muslimin,  melakukan kolaborasi dengan regulator keuangan, sehingga digital money yang dikeluarkan oleh Fintech menjadi lebih aman dan dapat dikontrol oleh regulator keuangan. Dalam konteks ini, Fintech dan OJK, akan lebih masif mendorong program-program keuangan inklusif sekaligus the real cashless society. (gsi)
Diberdayakan oleh Blogger.