Parallel Session ISEI, Mudrajad Kuncoro: Di Indonesia, Teori Kuznet Tidak Dapat Dibuktikan

BANDARLAMPUNG, katalampung.com - Untuk kasus di Indonesia, dengan menggunakan data PDRB Perkapita dan Gini Rasio tahun 1964-2015 Teori Kuznet tidak dapat dibuktikan. Bentuk kurva Kuznet di Indonesia justru menunjukan bentuk menyerupai huruf “U” yang menunjukan semakin besar pendapatan penduduk perkapita maka ketimpangan akan semakin tinggi.

Parallel Session ISEI, Mudrajad Kuncoro: Di Indonesia, Teori Kuznet Tidak Dapat Dibuktikan
Gambar: Kurva Kuznet di Indonesia, hasil penelitian Prof. Mudrajad Kuncoro

Hal itu disampaikan oleh Prof. Mudrajad Kuncoro saat mengisi Parallel Session I (Ketimpangan) pada Seminar Nasional dan Sidang Pleno ISEI XIX di Ballroom Swis-Bel Hotel, Bandarlampung, (Kamis, 19/10/2017). Pada kesempatan itu Mudrajad Kuncoro memaparkan small research dengan judul Ketimpangan Indonesia: Tren, Penyebab dan Terobosan Kebijakan.

Sebelumnya, Prof. Mudrajad menjelaskan mengenai uji hipotesis Kuznet dengan menampilkan gambar Kurva Kuznet yang bersumber dari Melikhova dan Čížek (2012); Kuznets (195) yang menunjukan ketimpangan di 145 negara di Dunia. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ada kesesuaian dengan teori Kuznet yang menunjukan kurva membentuk seperti huruf “U” terbalik. Bentuk kurva tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka tingkat ketimpangan akan semakin menurun.
 
Parallel Session ISEI, Mudrajad Kuncoro: Di Indonesia, Teori Kuznet Tidak Dapat Dibuktikan
Gambar: Kurva Kuznet di 145 negara oleh Melikova dan Cizek (2012)

“Ini kalau di Indonesia beda dengan hasil penelitian di 145 negara tadi. Semakin tinggi pendaptan perkapitanya justru malah tambah tinggi tingkat ketimpangannya. Saya cek kapan tingkat ketimpangan itu turun, ternyata tahun 1997-1998 pas krisis. Artinya waktu terjadi krisis orang-orang kaya di Indonesia jadi sama-sama miskin dengan orang-orang miskin. Jadi kalau di Indonesia itu teori trickle down effect itu tidak ada, adanya trickle up effect. Bukannya menetes kebawah itu pendapatannya malah muncrat keatas,” kata Mudrajad yang kontan mengundang gelak tawa peserta seminar.

Menurutnya, penyebab dari ketimpangan di Indonesia antara lain disebabkan oleh  adanya interaksi antara kebijakan desentralisasi fiskal, moneter, urbanisasi, industrialisasi, keterbukaan ekonomi, pemekaran wilayah, dan perubahan kelembagaan.

Sementara itu, dari hasil analisis regresi data panel. Fakta-fakta yang di temukan pun sangat mengejutkan. Pertama, Semakin besar DBH maka makin kecil ketimpangan antar provinsi. Kedua, Semakin besar DAU maka makin kecil ketimpangan antar provinsi. Ketiga, Makin tinggi DAK akan makin meningkatkan ketimpangan antar provinsi. Keempat, semakin besar IKF maka makin kecil ketimpangan antar provinsi. Sedangkan dari variable moneter menunjukkan bahwa  semakin tinggi BI rate maka makin kecil ketimpangan antar provinsi dan semakin tinggi Inflasi maka makin kecil ketimpangan antar provinsi. Namun tidak signifikan secara statitstik. Dari sekian hasil temuan, Mudrajad banyak menyoroti masalah inflasi.

“Ini inflasi agak unik ini, semakin tinggi menyebabkan ketimpangan semakin menurun. Mungkin ini lebih disebabkan oleh inflasi hanya dihitung di wilayah perkotaan saja, sedangkan di wilayah perdesaan ini kurang diperhatikan. Padahal harga beras di kota dengan di desa kan beda”, jelas Mudrajad.

Mudrajad menyimpulkan hasil penelitiaanya denggan tiga dimensi, yaitu dimensi spasial, politik kebijakan, dan inclusive development. Dalam dimensi spasial, aspek yang perlu jadi perhatian adalah populasi, keterbukaan ekonomi, industrialisasi, institusional dan urbanisasi. Untuk dimensi politik dan kebijakan yang harus menjadi perhatian adalah koherensi sektoral dan regional. Sedangkan pada dimensi Inclusive development adalah pembangunan untuk semua dan program anti kemiskinan. Ketiga dimensi tersebut harus jadi perhatian untuk merumuskan sebuah trobosan kebijakan untuk meretas tingkat kesenjangan.

Dilaporkan Oleh: Guntur Siswanto
Editor: Guntur Subing

Diberdayakan oleh Blogger.