SMI: Indonesia Semakin Bergantung Korporasi dan Lembaga Hutang

JAKARTA, katalampung.com – Penerapan kebijakan ekonomi hingga jilid 16 itu bukannya membangun ketahanan ekonomi, malah justru membuat Indonesia semakin memiliki ketergantungan dengan korporasi dan lembaga hutang. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum SMI, Nuy Lestari melalui momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda pada Senin (23/10/2017).

SMI: Indonesia Semakin Bergantung Korporasi dan Lembaga Hutang
Foto: Aksi Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Kemenristek, Jakarta, Senin (23/10/2017)

Dirinya menilai kebijakan rezim pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla semakin memperparah keadaan bangsa Indonesia dengan banyak menciptakan kemelaratan struktural masyarakatnya. Didasari kondisi ini, Serikat Mahasiswa Indonesia(SMI) secara nasional menggelar aksi di Kemenristek, Jakarta, Senin (23/10) dengan menyerukan agar masyarakat dapat berjuang melawan para kapitalis pendidikan dan pembungkaman demokrasi.

Ambisi pembangunan infrastruktur Jokowi-JK, telah menciptakan kemelaratan yang  jangka panjang bagi rakyat. Karena yang menopang pembangunan infrastruktur besar-besaran adalah dari hutang, bukan kekuatan fundamental ekonomi rakyat. Indonesia mencapai rekor fantastis dari sisi penambahan hutang Negara di era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, yakni Rp3.825,79 Triliun. Sementara cicilan hutang jatuh tempo di tahun 2018-2019 sebesar 810 Triliun.

“Hampir setara separoh total APBN. Tak heran, Menkeu Sri Mulyani begitu kelabakan segera melakukan penghematan besar-besaran dengan mencabut subsidi serta menaikkan pajak untuk menambal krisis APBN,” ujarnya.

“Sektor pendidikan menjadi salah satu sektor yang mendapatkan dampak cukup besar dari program kebijakan liberalisasi. Kemiskinan struktural telah membuat sebanyak 4,1 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak sanggup mengenyam bangku sekolah,” tegasnya.

“Ditambah lagi terdapat sekitar 997.445 siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikan hingga tingkat sekolah menengah. Belum terhitung ratusan ribu kaum muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi dan angka putus kuliah,” jelasnya.

Peran institusi pendidikan sebagai aparatur ideologis negara beralih fungsi menanamkan budaya pragmatis dan anti kritik yang menyebabkan Negara Indonesia krisis demokrasi.

Dunia pendidikan juga menampilkan bentuknya sebagai institusi pelanggar nilai-nilai demokrasi. Kasus-kasus pelanggaran demokrasi semakin marak seperti Drop Out massal dan skorsing sepihak.

“Pemberedelan organisasi mahasiswa, serta kasus kekerasan fisik dan kriminalisasi mahasiswa-pemuda-pelajar seperti yang terjadi di Universitas Proklamasi 45 Yogya, Universitas Pekalongan dan daerah lainnya,” ucapnya.

Selain itu, ia menyayangkan bahwa upaya pemberantasan radikalisme di dunia pendidikan justru di implementasikan secara serampangan dengan memberlakukan  sejumlah aturan-aturan yang tidak masuk akal, seperti pemberlakuan jam malam kampus, pelarangan mimbar-mimbar akademik hingga MoU pihak kampus dengan aparat militer untuk menindak secara hukum mahasiswa yang melakukan aksi protes terhadap kebijakan kampus.

“Inilah fase krisis demokrasi akut. Institusi pendidikan kita sedang melakukan upaya depolitisasi kampus dan pemberangusan gerakan sosial kaum muda,” keluhnya.

“Situasi ini semakin membuka mata kita, bahwa kekerasan Negara terhadap rakyat tidak hanya berbentuk larangan dan pengekangan kebebasan berorganisasi dan kekerasan fisik. Tapi kekerasan dalam bentuk belenggu kebebasan berpikir dan berekspresi,” jelasnya.

Oleh karena itu, Serikat Mahasiswa Indonesia secara nasional melakukan aksi massa di depan Gedung Kemenristek-Dikti, Kopertis, Dinas Pendidikan dan institusi yang bertanggung jawab dalam penyelesaian persoalan ekonomi-politik dan pendidikan di Indonesia.

Karena. Sebagai generasi mayoritas sekaligus tumpuan tenaga produktif, tentu akan mengalami pukulan sosial-ekonomi yang cukup serius. Misalnya saja, sistem kontrak outsorching dan jaminan pekerjaan layak yang dicederai oleh liberalisasi pasar tenaga kerja menjadi faktor utama pemerasan tenaga produktif kaum muda semakin tidak dihargai nilai kerjanya akibat politik upah murah.

“Beban kaum muda dan keluarga buruh-tani di Indonesia semakin berat, seiring dengan pencabutan subsidi dan komersialisasi di sektor publik (pendidikan , kesehatan, transportasi, dan lainnya,” ucapnya.

“Krisis sosial ekonomi ini, sudah semestinya menjadi pekerjaan bagi gerakan rakyat dan kaum muda untuk terlibat ke dalam perjuangan rakyat, jika kita tidak menginginkan barisan perbudakan dan penjajahan semakin kronis di negeri ini,” pungkasnya.
Diberdayakan oleh Blogger.