Kemenkeu Beri Peringatan Penggunaan Mata Uang Virtual di Indonesia

JAKARTA, katalampung.com – Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Nufransa Wira Sakti, mengeluarkan siaran pers terkait penggunaan mata uang virtual di Indonesia, Senin, 22 Januari 2018.


Kemenkeu Beri Peringatan Penggunaan Mata Uang Virtual di Indonesia


Nufransa mencatat perkembangan mata uang virtual (cryptocurrency) berbasis distributed ledger technology, seperti Bitcoin, yang semakin marak telah menjadi perhatian berbagai otoritas keuangan dunia mengingat resiko yang besar, tidak hanya bagi masyarakat penggunanya namun juga dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan.

Baca Juga:
Akan Dilarang BI, Bitcoin Tak Khawatir 
Mata Uang Digital Bukanlah Alat Pembayaran Yang Sah
Potensi Jadi Alat Kejahatan, BI Larang Penggunaan Bitcoin Mulai 2018

Menurutnya, Kementerian Keuangan menegaskan penggunaan mata uang virtual sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki landasan formal.

“Mengacu pada Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ditegaskan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah,” tulis Nufransa.

Oleh karena itu, tambahnya, Kementerian Keuangan mendukung kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran untuk tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.

“Mengingat belum adanya otoritas yang mengatur dan mengawasinya, penggunaan mata uang virtual rawan digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kondisi transaksi semacam ini dapat membuka peluang terhadap tindak penipuan dan kejahatan dalam berbagai bentuknya yang dapat merugikan masyarakat,” ujar Nufransa.

Lebih lanjut Nufransa menjelaskan, selain resiko yang diperoleh dari memiliki dan/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang memiliki ketidakjelaan underlying asset yang mendasari nilainya, transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat menimbulkan resiko penggelembungan nilai (bubble) yang tidak hanya merugikan masyarakat namun juga berpotensi terganggu stabilitas sistem keuangan.

“Kementerian Keuangan senantiasa bekerja sama dengan otoritas keuangan lainnya untuk mencermati secara seksama perkembangan penggunaan mata uang virtual ini dan mengambil langkah-langkah terukur yang diperlukan untuk memitigasi resiko peredaran dan penggunaan mata uang virtual dalam rangka menjaga kepentingan masyarakat serta menjaga kredibilitas dan stabilitas sistem keuangan,” tutup Nufransa.(KMK/dde)
Diberdayakan oleh Blogger.