Kaum Muda Pedesaan Lebih Suka Jadi Tim Sukses Pilkada Dibanding Jadi Buruh Tani

JAKARTA, KATALAMPUNG.COM – Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin mengatakan saat ini semakin sulit untuk mencari tenaga kerja pertanian, terutama kaum muda perdesaan yang dengan senang hati mau bekerja di sawah, apalagi yang sedikit berpendidikan.

Kaum Muda Pedesaan Lebih Suka Jadi Tim Sukses Pilkada Dibanding Jadi Buruh Tani
Profesor Bustanul Arifin saat menyampaikan Pidato Peradaban Perberasan Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (20/3)

“Mereka lebih memilih menjadi tim sukses calon bupati dan mulai terjun ke politik lokal, apalagi pada musim pemilihan kepala daerah seperti sekarang. Dengan kata lain, penggunaan alat dan mesin pertanian untuk meningkatkan efisiensi usahatani nyaris menjadi keniscayaan,” ujar Prof Bustanul pada acara Peradaban Perberasan Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2018.

Baca Juga: Terungkap, Berikut Fenomena Perberasan Indonesia Yang Mengkhawatirkan

Pada kesempatan menyampaikan Pidato Perberasan dengan Judul “Perberasan Nasional: Upaya Mencari Solusi Integeratif”, Prof Bustanul mengatakan, komponen biaya produksi padi yang paling tinggi di Indonesia adalah biaya sewa lahan dan biaya upah buruh. Para peniliti meyakini bahwa penggunaan alat dan mesin pertanian mampu menanggulangi persoalan kelangkaan tenaga kerja pertanian di perdesaan.

“Telah banyak studi yang menyimpulkan bahwa beras Indonesia selalu kalah bersaing dengan beras Vietnam atau Thailand, karena sistem usahatani padi di Indonesia kalah efisien. Biaya produksi untuk menghasilkan satu kilogram padi di Indonesia ternyata, 2,4 kali lebih tinggi dari biaya produksi padi di Vietnam, atau 1,8 kali lebih besar dari biaya produksi padi di Thailand,” jelasnya.

Menurutnya, jika tidak secara hati-hati membenahi masa-masa transisi yang sensitif saat ini, upaya penggunaan teknologi produksi pada sawah atas nama efisiensi, justru menjadi titik balik dari pembangunan pertanian atau yang sering disebut sebagai involusi pertanian.

“Lahan-lahan pertanian sawah akan beralih fungsi menjadi kegunaan lain karena potensi penerimaan ekonomi yang lebih besar atau akan beralih kepemilikan kepada tuan tanah yang ‘senantiasa mematuhi’ hukum-hukum ekonomi untuk meningkatkan skala usahanya,” tambahnya.

Ditingkat usahatani, kata Prof Bustanul, rumah tangga petani beras masih harus menggantungkan produksi beras pada lahan pertanian yang semakin sempit. Lebih dari 53 persen total 26,1 rumah tangga petani Indonesia hanya menguasai lahan pertanian 5000 meter persegi atau kurang. Sebagian besar dari petani berlahan sempit itu menanam padi dan palawija, sebagian lagi menanam hortikultura dan hanya sedikit yang mengusahakan tanaman perkebunan.

Baca Juga: Ini Solusi Integeratif Perberasan Nasional Menurut Prof Bustanul Arifin

“Untuk petani berlahan sempit, hanya 0,5 hektar, jika musim sedang bersahabat, usahatani padi masih menghasilkan 5 ton per hektar atau setara penerimaan 25 juta rupiah per hektar per musim. Setelah dikurangi biaya produksi, tanpa mempertimbangkan biaya tenaga kerja keluarga, petani padi masih mendapat keuntungan 0,5 hektar, maka keuntungan bersih itu equivalen dengan 7,5 juta rupiah per musim atau tidak sampai 1,8 juta rupiah per bulan. Angka itu tentu masih jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) rata-rata pekerja pabrik di seluruh Indonesia,” papar Prof Bustanul.

Editor: Guntur Subing
Diberdayakan oleh Blogger.