Puasa dan Transformasi Spiritual

Puasa adalah syariat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT sejak manusia hadir di muka bumi. Ibadah ini telah disyariatkan sejak zaman nabi Adam AS hingga Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW(QS 2:183). Puasa memiliki manfaat yang penting bagi manusia dilihat dari berbagai aspeknya. Dari aspek kesehatan misalnya para pakar kesehatan dunia mengakui beragam manfaat aktivitas berpuasa  bagi kesehatan jasmani dan mental manusia.

Puasa dan Transformasi Spiritual
Deden Firdaus


Allan Cott M.D  seorang ahli kesehatan dari Amerika, telah menghimpun hasil pengamatan dan penelitian para ilmuwan berbagai negara, lalu menghimpunnya dalam sebuah buku Why Fast membeberkan berbagai hikmah puasa, antara lain: pertama to feel better physically and mentally (merasa lebih baik secara fisik dan mental). Kedua, to look and feel younger (melihat dan merasa lebih muda). Ketiga, to clean out the body (membersihkan badan), keempat to lower blood pressure and cholesterol levels (menurunkan tekanan darah dan kadar lemak. Kelima, to get more out of sex (lebih mampu mengendalikan seks). Keenam, to let the body health itself (membuat badan sehat dengan sendirinya).Ketujuh, to relieve tension (mengendorkan ketegangan jiwa). Kedelapan, to sharp the senses (menajamkan fungsi indrawi). Kesembilan to gain control of oneself (memperoleh kemampuan mengendalikan diri sendiri) dan kesepuluh to slow the aging process / untuk memperlambat proses penuaan. (dikutip dari artikel Maulida Devi dengan alamat m.facebook.com/Maulida Devi).

Hewan berpuasa

Aktivitas berpuasa ternyata tidak hanya ditemukan pada manusia saja, sejumlah hewan pun melakukannya. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa hewan melakukan puasa dengan beberapa tujuan. Berikut lima tujuan hewan melakukan aktivitas puasa.

Tujuan pertama untuk bertahan hidup seperti hibernasi yang terjadi pada buaya dan beruang dalam menghadapi perubahan musim. Tujuan kedua untuk istirahat dan peremajaan fisik seperti puasanya ular ketika berganti kulit. Tujuan ketiga untuk mempersiapkan bekal demi perjalanan yang berat dan panjang seperti puasanya unta dalam melewati ganas dan ekstrimnya perjalanan di padang pasir. Tujuan keempat kelangsungan regenerasi seperti puasanya ayam mengerami telurnya dan  tujuan kelima perubahan jatidiri seperti yang terjadi pada ulat yang berpuasa menjadi kupu kupu.

Dari beberapa model berpuasanya hewan tersebut nampaknya kita bisa mengambil pelajaran berharga dari puasanya ulat menjadi kupu-kupu. Dalam istilah zoologi proses perubahan ini dinamakan metamorfosis sempurna dimana suatu hewan berubah secara revolusioner dan sama sekali berbeda dari sebelumnya baik bentuk fisik, makanan maupun habitatnya.

Hikmah yang bisa diambil dari hal ini adalah dalam berpuasa seharusnya manusia mengalami  apa yang penulis sebut "transformasi eksistensial" dari keterikatan kepada dunia material menuju kebebasan dunia spiritual. Dari dominasi kefanaan menuju keabadian, dari kelamnya reruntuhan alam semesta menuju kecemerlangan cahaya Tuhan yang luas membentang dibalut sifat Jalaliyyah (keagungan) dan Jamaliyyah(keindahan)-Nya. Dari jiwa "ulat" yang terbatas kepada jiwa "kupu-kupu" yang dapat terbang bebas menembus cakrawala dan memancarkan pesona keindahan. Disinilah urgensi dan makna spiritual puasa dalam perspektif sang arif besar  Persia Maulana Jalaluddin Rumi.

Puasa dalam pandangan Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) seorang mistikus besar Persia mengungkapkan hakikat dari puasa dalam bait bait puisinya.


Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa,  Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu. Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab. Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu  Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu

Dalam perspektif Rumi, puasa sejatinya adalah ibadah yang mampu menghantarkan ruh manusia agar mampu mendaki naik dan berproses menuju kesempurnaan dan menjadi dekat dengan-Nya. Dengan berpuasa, jiwa jiwa rendah manusia yang selama ini terikat oleh tarikan dunia material ditransformasi agar mampu menguasai dan mengontrol dorongan hawa nafsu bukan malah dikuasai dan dikendalikan olehnya. Hasil akhirnya jiwa (Nafs) yang telah melakukan penyucian dengan puasa akan menjadi murni dan memiliki kesiapan (istidad) untuk menerima limpahan cahaya-Nya  menjadi Nafsu yang diridhai (al-Nafs al-Mardhiyyah) dan Nafsu yang tenang (al-Nafs al-Muthmainnah).
Mencapai kualitas puasa yang mampu membakar seratus hijab dan mendaki seribu derajat dalam perspektif Rumi ini tentu tidak mudah dilakukan. Diperlukan niat yang tulus, kesungguhan serta kesabaran yang berlipat lipat dari kita agar mampu mewujudkan kualitas puasa tersebut. Kualitas ini sejalan dengan substansi tujuan Puasa sendiri yaitu membentuk pribadi bertaqwa (QS.2:183).
Cinta kuncinya
Dalam pandangan penulis salah satu kunci agar kualitas puasa kita mampu menghantarkan menjadi pribadi bertaqwa serta mampu menjadi spirit bagi kita untuk melakukan pendakian spiritual adalah cinta ilahiyyat. Ibadah ritual apapun jika niat awalnya adalah cinta, sesulit apapun akan terasa manis dan indah. Nampaknya kita perlu mempertanyakan motivasi utama kita melakukan segala bentuk peribadatan maupun segala amal amal kebajikan yang selama ini kita lakukan.
Sebagian dari kita mungkin melakukan ibadah puasa motivasinya adalah ingin mendapat pahala yang banyak, ingin masuk surga dan terhindar dari neraka, ingin sehat dan diet dengan berpuasa  dan lain sebagainya. Niat niat tersebut tidaklah keliru namun alangkah lebih baiknya dengan semakin dewasanya pemahaman keberagamaan kita, kita tingkatkan motivasi kita melakukan segala ritual dan aktivitas kebajikan apapun termasuk dalam hal ini berpuasa hanyalah realisasi dari kecintaan kita kepada sang Maha Kekasih yaitu Allah SWT.
Dalam cinta tak ada paksaan,  tak ada pamrih,  tak ada hukuman dan ganjaran yang ada adalah kerinduan (al-isyq) mendalam untuk bertemu dan bersatu dengan sang kekasih. Karena itu shalatlah karena cinta maka kita akan mengalami Miraj  ruhani untuk bercengkerama dengan sang Kekasih muara segala pecinta, berpuasalah karena cinta karena dengan cinta segala lapar dan haus yang kita rasakan akan mampu membakar seratus hijab dan menaikkan kita ke derajat spiritual tertinggi untuk mampu sampai kepada-Nya, berzakatlah karena cinta karena dengan cinta, pengorbanan harta kita demi menolong sang fakir miskin adalah begitu dicintai oleh Sang kekasih penguasa semesta, berhajilah karena cinta karena dengan cinta, Haji yang kita laksanakan akan menghantarkan kita kepada Arafah (padang pengenalan Tuhan) dan Baitullah (Rumah sang kekasih). 
Puasa dan Transformasi Jiwa
Puasa merupakan medium yang tepat bagi sang jiwa untuk dilatih dan dididik dengan didikan langsung dari sang Pendidik Agung, Allah SWT. Jiwa adalah unsur dalam diri manusia yang dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu tarikan dunia rendah alam materi dan tarikan alam spiritual. Jiwa ditarik oleh dimensi jasad yang berasal dari tanah dan dimensi ruh yang berasal dari alam ketinggian dan bersifat ilahiyah.
Dalam pandangan penulis puasa adalah bagaimana kita mengontrol segala tarikan yang berasal dari "kehewanan" kita. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, dalam diri manusia tercampur empat jenis kecenderungan jiwa. Pertama, jiwa syaitaniyah yaitu kecenderungan yang berasal dari sifat sifat setan yaitu iri, dengki, licik, hasut, makar dan sejenisnya. Kedua, jiwa Bahimiyyah yaitu sifat sifat binatang ternak seperti makan dan minum yang berlebihan.
Ketiga, jiwa Sabuiyyah yaitu jiwa binatang buas seperti buas, liar, marah yang berlebihan. Keempat jiwa Rububiyyah yaitu jiwa ketuhanan yang merupakan limpahan langsung dari sifat sifat Tuhan yang secara garis besar terbagib kepada sifat Keindahan (Jamaliyyah) dan Keagungan (Jalaliyyah) yang terangkum dalam asma Al husna. Hal ini juga pernah diperkuat oleh sabda Rasul Terkasih Takhallaqu Biakhlaqilah artinya bersifatlah kalian dengan mencerap dan meniru sifat sifat Allah Azza Wajalla.
Puasa adalah bagaimana kita menjadikan sifat sifat Rububiyyah kita lebih dominan dan menguasai ketiga sifat diatas.Untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah diperlukan niat yang kuat serta kesungguhan yang berlipat dan proses terus menerus tanpa jeda dari kita untuk memperbaiki diri, menambah ilmu dan kearifan. Yang terpenting mempesiapkan (isti'dad) diri ini agar pantas dan memiliki sinyal rohani untuk menerima  limpahan (fayd)dan cahaya hikmah-Nya yang setiap saat Tuhan pancarkan kepada alam wujud ini.
Mulla Sadra seorang Arif besar menjelaskan bahwa gerakan menuju kesempurnaan (Al Harakah Al Kamaliyyah) dialami oleh setiap jiwa manusia. Ia menegaskan bahwa ketika pertama kali hadir di dunia, jiwa merupakan wujud alamiah yang memerlukan jasmani agar bisa meng-ada.Jiwa tersebut pada masa masa awal memerlukan jasmani agar bisa mengindividu dan eksisten.
Dalam proses kembalinya jiwa dari alam material menuju alam spiritual manusia akan mengalami transformasi spiritual sesuai kadar dan potensi dirinya.Karena itu jika manusia konsisten dan aktif mengikuti petunjuk yang diberikan akalnya serta petunjuk dari Sang Penguasa melalui para utusan-Nya maka jiwanya akan berproses menuju kesempurnaan.
Jiwa hasil proses transformasi ini akan melahirkan energi yang tidak terbatas dan dorongan positif untuk mewujudkan sifat sifat Rububiyyah Tuhan dalam konteks realitas sosialnya. Setelah mencerap energi Ramadhan seharusnya jiwa seorang yang berpuasa akan berubah menjadi kualitas kualitas Muttaqin semisal pengasih, penyayang, penebar cinta dan kasih sayang serta peduli kepada sesamanya.
Para pelaku puasa setelah ditempa dalam kawah candradimuka Ramadhan selama sebulan penuh maka jiwanya selain memiliki ketajaman spiritual  yang dipenuhi cinta universal, mereka juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kecintaan kepada Tuhan diejawantahkan dalam mencintai sesama. Membela yang tertindas, menjadi lokomotif perubahan sosial serta aktif dalam tugas tugas kemanusiaan.
Wallahu alam bisshawab.
Puasa dan Transformasi Spiritual
Oleh: Deden Firdaus
*)Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan, Anggota KAHMI Lampung
Diberdayakan oleh Blogger.