Memahami Polemik Lampung Utara Bangkrut
BANDARLAMPUNG,
katalampung.com - Menanggapi rumor defisitnya anggaran di Kabupaten Lampung
Utara, apalagi dengan istilah bangkrut,
menurut akademisi FEB Universitas Lampung, Fitra Dharma, SE. M.Si Ak tidaklah
proporsional. Menurutnya tidak ada yang luar biasa dalam suatu penganggaran
tercantum defisit, baik dalam APBN, APBD Provinsi maupun APBD Kab/Kota.
“Walaupun direncanakan
defisit, namun fakta terjadinya defisit
atau surplus dapat diketahui setelah
perhitungan anggaran akhir tahun,” ujar Fitra Dharma.
Menurutnya, dalam APBD
setiap perhitungan akhir tahun anggaran, kecenderungannya terjadi surplus dan
menjadi penerimaan untuk TA selanjutnya. “Sekali lagi tidak ada yang luar biasa
alias biasa-biasa saja, “ tegas kandidat doktor akuntansi FEB UI itu.
Secara sederhana, Fitra
menjelaskan, defisit itu bila jumlah belanja lebih besar dari jumlah
pendapatan. Dalam perencanaan dan penganggaran pada awal tahun bisa terlihat
perbandingannya. Dan lebih nyata adalah setelah berakhirnya tahun anggaran.
Mengenai keterlambatan
pembayaran Pemda terhadap kewajiban pekerjaan yang sudah dilaksanakan, misalnya
proyek fisik pembangunan disebabkan dana yang
tersedia (stand by fund) belum
ada atau karena dialokasikan kebutuhan lain, sehingga terjadi kekurangan atau
kekosongan kas yang disebabkan penerimaan dari PAD, Dana Perimbangan (DP)
maupun Lain-Lain Pendapatan yang Sah (LPDS) belum masuk.
Menurut Fitra, itu bukan
defisit, kejadian seperti ini juga sudah biasa dialami. Disinilah, menurut
Fitra Dharma, kepiawaian pengelola dana
menentukan skala prioritas mana yang harus dibayar lebih dulu. “Jadi kalau ada
yang ngomong bangkrut, saya kira itu agak lebay,”
katanya.
Bahkan bisa dikatakan
gagal paham soal anggaran, sebab tahun anggaran 2017 masih berjalan. “Pemerintah
(pusat) saja, karena target pendapatannya tak tercapai, rencananya mau
ngejualin BUMN, tidak dibilang bangkrut,” seloroh Fitra.
Menurutnya, bila
penerimaan dari PAD, DP dan LPDS diprediksi tidak tercapai untuk menutup
kekurangan, begitu juga Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya dalam penerimaan pembiayaan tidak
mencukupi, “Maka Pemda dapat melakukan pinjaman daerah sesuai dengan ketentuan
yang ada. Sederhana saja, gampang memahaminya”.
Fitra Dharma mencoba
menganalisis tentang masalah keuangan Pemda Lampung Utara. Dia mencontohkan
Pemkab LU terobsesi menyelesaikan masalah infrastruktur (jalan) yang rusaknya
kronis. Kondisi Jalan Kabupaten Lampung Utara menurut data BPS, 2015 sebanyak
12% rusak berat, 69% rusak, jadi kurang dari 20% dalam kondisi baik. Panjang
jalan kabupaten sekitar 1.500 km. Jadi lebih dari 1.200 km dalam kondisi rusak.
Ditaksir menurut Fitra membutuhkan dana sekitar Rp3-4 triliun untuk
menjadikannya jalan mantap. “Dari mana duitnya?” tanyanya.
Dia melanjutkan, APBD LU
hanya sekitar Rp1,9 triliun pertahun, dana yang bisa dimanfaatkan (belanja
langsung) sekitar Rp1 triliun.” Kalau dialokasikan buat ngebenerin jalan,
sektor lain bagaimana? Terutama pendidikan dan kesehatan,” tegas Fitra.
Sebagaimana diketahui, Pemkab
LU telah menagalokasikan anggaran sesuai kemampuan untuk merehab jalan-jalan
yang rusak. Dipastikan belum bisa seluruhnya. “Terjadinya kesulitan anggaran
yang dialami Lampung Utara sekarang ini juga merupakan warisan dari sebelumnya.
Memang bukan warisan anggaran yang defisit, Tapi ninggalin tumpukan cucian yang
nilainya lebih besar daripada sekedar defisit anggaran,” terangnya.
Menutur dosen FEB Unila
itu, memahami keuangan LU sekarang memang harus menarik garis yang
berkesinambungan dan bukan dipotong-potong. Demikian juga, katanya, kalaupun
ada keberhasilan di Lampung Utara sekarang, Bupati Agung juga tidak bisa
mengklaim karena keberhasilannya sendiri seperti Adipura, misalnya. “Saling
memahami memang sulit,“ tutup Fitra.(dde/rls)