Cinta dan Perkawinan Dalam Tradisi Kearifan
...Kebahagiaan adalah saat kita duduk bersama/ Dua sosok/ dua wajah menyatu/kau dan aku
Bunga-bunga kan bermekaran dan burung-burung kan menembangkan kidungnya/ ketika kita memasuki taman/ kau dan aku/ Bintang-bintang kan muncul di langit tuk menjadi saksi/ kan kita terangi mereka dengan cahaya purnama/ kau dan aku... (Rumi)
![]() |
Deden Firdaus |
Perkawinan
dan cinta tentu dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Cinta adalah pondasi sebuah
perkawinan. Tanpa adanya cinta dan rasa suka satu sama lain, yang terjadi tentu
perkawinan semu (artifisial marriage) atau
perkawinan dengan paksaan.
Cinta
dan perkawinan ibarat dua mata uang yang tak dapat dipisahkan. Diskursus tentang
cinta tetap menarik untuk dikaji karena terkait dengan fenomena dan gejala psikologi,
emosi dan jiwa manusia yang tak akan berhenti selama kehidupan ada.
Cinta
adalah perasaan paling misterius yang dimiliki manusia sejak ia hadir di muka bumi.
Kajian tentang cinta menjadi tema menarik bidang filsafat dan psikologi sejak era
klasik hingga modern.
Dalam
karyanya Symposium, Plato meramu suatu
konsep ideal tentang cinta melalui pembicaraan beberapa tokoh filsuf Yunani saat
itu yaitu Phaedrus, Pausianias, Eryximachus, Aristophanes, Aghaton,dan
Socrates.
Phaedrus
menjelaskan, alam pada awalnya adalah kekacauan (chaos) kemudian cinta terlahir dan terbentuklah keteraturan. Cinta
adalah energi yang memungkinkan segala interaksi dan relasi sempurna di alam semesta
ini.
Pausanias
lebih lanjut lagi memaparkan bagaimana cinta dapat dimengerti melalui dua perspektif,
common aphrodite dan heavenly aphrodite.
Common Aphrodite adalah
cinta yang erotis dan vulgar, pemuasan tubuh serta kepemilikan menjadi tujuan utamanya.
Sementara itu heavenly aphrodite mengejar wujud cinta yang berbeda, Cinta ini lahir
dari penyatuan dua hati, tanpa adanya dorongan nafsu jasmani.
Aristophanes
mengungkapkan, cinta dengan konsep ‘belahan
jiwa’. Pencarian terhadap cinta sejati adalah pencarian terhadap belahan jiwa
tersebut.
Bagi
Agathon, cinta adalah serum yang dibutuhkan dalam dunia yang penuh dengan
kekerasan. Cinta melembutkan jiwa manusia, ia membuat manusia menjadi beradab.
Eric
Fromm seorang psikolog terkenal mengatakan, cinta adalah satu-satunya obat
mujarab bagi problem manusia modern yaitu alienasi (keterasingan). Namun ia mengatakan
jangan terjebak dengan cinta semu (pseudo
cinta) yaitu cinta yang dipenuhi sentimental dan fantasi imaginal.
Dalam
pandangan Mulla Sadra seorang Filsuf Persia abad 13, konsep cinta (al-‘Isyq) ia paparkan dengan begitu menarik
dalam masterpiecenya: al-Hikmat al-Muta’aliyya
fi-al-Asfar al-‘Aqliyyat al-‘Arba’a (kebijaksanaan tertinggi dalam empat tahapan
perjalanan intelek).
Ia
menjelaskan bahwa eksistensi cinta bersamaan dengan eksistensi realitas (wujud). Cinta adalah intuisi intelektual
yang dimiliki semua mahluk dan menyebar pada semua eksistensi.
Menurutnya, gerak
kualitatif sebuah apel untuk mengubah rasanya yang masam menjadi manis, gerak planet
serta benda-benda langit dalam tata kosmos bahkan gerak proton dan elektron
dalam tata kosmis yang teratur berasal dari energi yang sama yaitu cinta.
Sadra
menjelaskan, cinta adalah satu-satunya obat yang mampu mencuci bersih
seluruh karat kesombongan dan ego sentrisme manusia. Cinta adalah energi yang mendorong
setiap mahluk untuk melakukan perjalanan menuju tahapan kesempurnaan (perfectness).
Berdasar
pandangan Sadra tentang cinta metafora dan cinta sejati, penulis berpandangan
manusia harus melakukan perjalanan spiritual dari terminal cinta-cinta metafora
yang bersifat jasmani menuju tower cinta sejati dan akhirnya bermuara pada sang
Maha Cinta yaitu Tuhan.
Demikianlah
beberapa pandangan tentang cinta yang penulis sarikan dari beberapa pemikir Barat
dan Timur. Dalam pandangan penulis, cinta itu sejatinya sakral dan spiritual.
Perkawinan
adalah proses yang harus dilalui untuk menguji sejauhmana kekuatan dan ketahanan
cinta yang dimiliki. Bahtera perkawinan ibarat kapal di tengah samudera yang penuh
ombak dan badai.
Jika
kita (suami dan istri) mampu bekerjasama dengan baik, dipenuhi cinta sejati dan
kasih sayang tulus ditambah saling pengertian dan kesabaran, penulis yakin kita
akan sampai di pulau impian yaitu rumah tangga yang SAMARA (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah).
Semoga
energi cinta mampu mendorong jiwa menempuh pendakian ruhani dari cinta jasmaniah
menuju puncak cinta spiritual. Agar kita mampu meminum manisnya anggur ruhani supaya
sang jiwa memiliki cadangan spirit tidak terbatas dalam melakukan kerja-kerja sosial
dan kemanusiaan. Semoga.
Cinta dan Perkawinan Dalam Tradisi Kearifan
Oleh: Deden Firdaus
Alumni Magister Filsafat Islam ICAS
Paramadina Jakarta, Anggota KAHMI Lampung