Hearing dengan DPRD, Serikat Mahasiswa Tuntut Evaluasi Izin Operasi dan Kepemilikan Ratusan Ribu Hektar Lahan Sugar Grup
KATALAMPUNG.COM - Serikat
Mahasiswa dan Pemuda Peduli Lampung (SIMPUL) mengecam dominasi kepemilikan
lahan oleh pihak swasta. Salah satunya, lahan HGU yang dimiliki Sugar Group
Companies. Dalam keterangannya, SIMPUL mensinyalir, perusahaan yang terdiri
dari empat anak perusahaan ini memiliki luas tanah seluas sekira 134.000
hektare termasuk 28.000 hektare tanah hutan kawasan Register 47.
Dengan dalih kepemilikan
melalui Hak Guna Usaha (HGU), SIMPUL menilai dominasi ini menimbulkan
ketidakadilan. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang dirugikan, jikapun
dilibatkan sebatas buruh kasar dengan minim sekali kompensasi dana corporate
social responsibility (CSR) bagi warga di sekitarnya.
Melalui hearing yang
dilakukan SIMPUL dengan DPRD Lampung, Senin (5/3) siang, perwakilan massa diterima
oleh Komisi II DPRD, antara lain Mingrum Gumay, Hali Fahmi, Putra Jaya Umar dan
Dadang Sumpena. Mereka meminta wakil rakyat bergerak dan menuntaskan
ketidakadilan yang terjadi. Sehingga, masyarakat Lampung bisa memiliki lahan
yang cukup, mengolahnya, serta kesejahteraan sejatinya kembali kepada si pemilik
sahnya, yakni rakyat Lampung.
"Tanah untuk rakyat,
kembalikan konsesi lahan besar untuk kesejahteraan rakyat. Dari itu, kami
meminta wakil rakyat yang duduk di DPRD Lampung menampung serta mengaplikasikan
tuntutan kami," ungkap perwakilan massa dari Simpul, Rosim Nyerupa.
Menurutnya, tuntutan ini
sesuai dengan ungkapan yang disampaikan Presiden Jokowi. Di mana, negara
menunggu dikembalikan lahan-lahan besar yang dikuasai perorangan atau
perusahaan-perusahaan besar. Apalagi besaran lahan tidak tanggung-tanggung mencapai
2,6 juta hektare.
Khususnya SGC di Lampung,
telah menuai banyak polemik. Sehingga Terjadi sengketa tanah yang memicu konflik
berkepanjangan di masyarakat. Polemik ini bisa memperkeruh eksploitasi sumber
daya di sektor pertanian, yang identik dengan sifat agraira negeri ini.
"Akibatnya, penurunan
angka petani yang bosan hidup sebagai operasionalisasi hak guna usaha
perusahaan besar. Juga tidak mengabaikan fakta sangking besarnya bahaya
hegemoni perusahaan terhadap tanah. Maka konstruksi yang dibangun adalah
keterlibatan perusahaan yang tidak hanya terlibat di sektor privat, kini, telah
merambah masuk ke dalam sektor publik. Baik itu ruang sosial dan politik bisa
dipresepsikan telah dikendalikan bahkan juga bisa dilemahkan oleh kepentingan
perusahaan," ujarnya.
Dia menambahkan, sejak
berdirinya perusahaan ini, ekonomi masyarakat semakin tertindas tidak ada sama
sekali pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan bahkan masyarakat disekitar
hanya dijadikan buruh kasar yang siperkerjakan sebagai buruh tebang dan angkut.
Perusahaan juga tidak pernah memperhatikan aspek sosial terhadap masyarakat
sekitar dengan memberikan dana corporate social responsibility (CSR).
Belum lagi, aktivitas
pembakaran tebu saat panen juga berdampak pada lingkungan dan masyarakat
setempat. Bahkan sebab dari HGU PT SGC , masyarakat merasa tersandera karena
tidak tersentuh pembangunan pemerintah seperti akses listrik dan jalan.
"Selama ini
masyarakat bukan tidak melakukan perlawanan terhadap PT SGC. Namun perlawanan
yang mereka lakukan selalu saja mentah di pusat. Oleh karenanya, melihat pada
arah pembangunan untuk redistribusi tanah yang termaktub dalam Nawacita
Reforma Agraria kemudian dengan semangat
pidato yang disampaikan Presiden RI agar terwujudnya Reforma Agraria sejati,
agar tidak hanya sekedar isu yang dipolitisir maka kami mendukung dan mendorong
DPRD Lampung terkhusus ketua dewan serta
komisi terkait untuk melaksanakan instruksi tersebut," katanya.
Adapun bunyi tuntutan
Simpul, di antaranya mengevaluasi perizinan PT SGC beserta anak perusahaan nya
dalam pengoperasian perusahaannya yang mengakibatkan kerugian dan perampasan
hak EKOSOB masyarakat yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Menekan BPN
provinsi lampung untuk membuka informasi seluas-luasnya terkait luas lahan HGU
PT SGC dan melakukan pengukuran ulang atas luas lahan tersebut.
Kemudian, DPRD membuat
perda untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria terkait penyerobotan lahan
yang diperuntukkan HGU, mengembalikan hak ulayat dan tanah masyarakat yang
digunakan oleh PT SGC secara ilegal.
Editor: Feri