Indonesia Menjadi Tuan Rumah Forum Agraria Asia 2025
KATALAMPUNG.COM – Indonesia akan menjadi tuan rumah Asia Land Forum (ALF) atau Forum Agraria se-Asia pada Februari 2025. Pemilihan Indonesia sebagai lokasi penyelenggaraan forum ini didorong oleh adanya pemerintahan baru yang membuka peluang kerja sama antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berharap Indonesia dapat menjadi contoh dalam percepatan reforma agraria, pembangunan desa, serta penguatan koperasi rakyat guna mewujudkan kedaulatan pangan dan mengentaskan kemiskinan.
![]() |
Pergerakan Petani Banten, Desa Gunung Anten, Lebak, Banten |
“Dipilihnya Indonesia
sebagai tuan rumah menunjukkan kepercayaan masyarakat Asia terhadap gerakan
masyarakat sipil di Indonesia. Forum ini akan dihadiri lebih dari 500 peserta dari
14 negara di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan, termasuk perwakilan
pemerintah dan organisasi masyarakat sipil,” ujar Sekretaris Jenderal KPA, Dewi
Kartika, dalam konferensi pers di Jakarta (15/2).
Agenda Forum dan Kunjungan
Komunitas
Forum ini akan berlangsung
pada 17-21 Februari 2025, dengan agenda awal berupa kunjungan komunitas ke tiga
lokasi utama:
1. Kasepuhan Jamrud, Lebak,
Banten – komunitas adat yang masih memperjuangkan hak atas
tanah mereka.
2. Desa
Gunung Anten, Lebak – desa yang menghadapi konflik agraria selama 32 tahun
dengan perusahaan swasta.
3. Desa Sukaslamet,
Indramayu – episentrum konflik agraria dengan Perum Perhutani di
Jawa Barat.
Dewi Kartika menambahkan
bahwa forum ini merupakan momentum penting bagi gerakan reforma agraria untuk
menagih komitmen politik pemerintahan baru dalam redistribusi tanah serta
penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Reforma agraria yang diusung akan
berbasis inisiatif dari masyarakat (bottom-up process) serta
mengutamakan penyelesaian konflik di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA)
agar hak rakyat atas tanah lebih terjamin.
Peran ALF dalam Mendorong
Reforma Agraria
“ALF menjadi ruang strategis
bagi organisasi masyarakat sipil dan komunitas di Asia untuk membahas kebijakan
agraria dan pertanahan, serta mencari solusi yang berpusat pada masyarakat.
Forum ini juga menjadi wadah solidaritas bagi pejuang hak atas tanah,” lanjut
Dewi.
Sejak kemerdekaan, Indonesia
mengalami ketimpangan kepemilikan tanah yang signifikan. Hanya satu persen
populasi menguasai hampir 68 persen tanah dan kekayaan alam di Nusantara.
Antara tahun 2015 hingga 2024, tercatat 3.234 konflik agraria dengan luas
terdampak mencapai 7,4 juta hektar dan melibatkan sekitar 1,8 juta keluarga.
Pemerintahan baru di bawah
Presiden Prabowo menempatkan reforma agraria sebagai instrumen utama dalam
mencapai swasembada pangan serta pemerataan ekonomi melalui peningkatan
produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan.
Program ini juga ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, memperkuat ekonomi
pedesaan, serta mendorong pengembangan koperasi rakyat.
“Momentum ALF ini harus
dimanfaatkan untuk membangun komitmen antara pemerintah dan gerakan reforma
agraria guna memastikan partisipasi rakyat dalam kebijakan yang berdampak pada
mereka,” tegas Dewi.
Tema dan Fokus Diskusi ALF
2025
Tema besar ALF 2025 adalah Menjamin
Hak Atas Tanah untuk Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan. Empat topik
utama yang akan dibahas meliputi:
1. Reforma agraria dan
penyelesaian konflik agraria
2. Perlindungan bagi pembela
hak atas tanah dan lingkungan hidup
3. Hak perempuan atas tanah
dalam kaitannya dengan perubahan iklim
4. Hubungan manusia, iklim,
dan alam dalam konteks pengelolaan sumber daya alam
Koordinator International
Land Coalition Asia, Anu Verma, menyoroti bahwa Asia dengan 4,8 miliar
penduduknya menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi global. Namun, eksploitasi
sumber daya alam di kawasan ini telah meningkatkan investasi lahan yang sering
kali mengorbankan masyarakat lokal.
“Investasi ini didorong oleh
persaingan global yang semakin memperburuk warisan eksploitasi kolonial.
Perempuan di Asia hanya memiliki 10,7 persen tanah, jauh di bawah rata-rata
global. Bahkan, satu dari sepuluh perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem,”
ujar Verma.
Pandangan Berbagai Pemangku
Kepentingan
Direktur Eksekutif WALHI,
Zenzi Suhadi, menilai ALF 2025 sebagai momentum konsolidasi gerakan
ekonomi-politik di Asia dalam menghadapi dinamika geopolitik global. Asia yang
sebelumnya hanya berperan sebagai penyedia bahan mentah kini sedang diarahkan
menjadi kawasan industri, yang berpotensi merampas hak rakyat atas sumber
penghidupan mereka.
Imam Hanafi dari Jaringan
Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menambahkan bahwa ALF 2025 akan menjadi
ajang berbagi pengalaman bagi berbagai komunitas di Asia dalam upaya mereka
mewujudkan kedaulatan rakyat atas ruang hidup mereka.
Wahyu Binara Fernandes dari
Rimbawan Muda Indonesia (RMI) menyoroti pentingnya pengakuan terhadap komunitas
adat seperti Kasepuhan Jamrud, yang telah menunjukkan keberlanjutan pangan
tanpa perlu membuka lahan baru untuk perkebunan sawit.
Sementara itu, Ahmad
Jaetuloh dari Sajogyo Institute mengingatkan bahwa konflik agraria di Indonesia
telah berlangsung selama enam dekade tanpa adanya kebijakan komprehensif yang
mampu menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh.
Forum Agraria se-Asia 2025 diharapkan dapat menjadi wadah bagi berbagai pihak untuk berdiskusi dan mencari solusi atas ketimpangan agraria di Asia. Dengan keterlibatan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, diharapkan tercipta kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat serta memperkuat reforma agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan.(ALF)