WTP Sebelas Kali: Konsistensi dan Keteladanan Pemprov Lampung
Pemprov Lampung kembali memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun anggaran 2024 dari BPK RI. Capaian opini WTP selama sebelas tahun berturut-turut (2014-2024) merupakan penanda konsistensi dalam merawat tata kelola yang kredibel. Capaian ini menunjukkan bahwa Pemprov Lampung telah membangun mekanisme pengelolaan keuangan yang tak hanya patuh terhadap regulasi, tetapi juga menjunjung prinsip transparansi dan akuntabilitas publik yang berkelanjutan.
![]() |
Saring Suhendro Pengamat Keuangan Publik |
Dalam perspektif teori Good
Governance, WTP berturut-turut ini dapat dimaknai sebagai hasil dari
konsistensi dalam menjalankan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik,
yaitu akuntabilitas, responsivitas, dan efektivitas birokrasi. Sementara itu,
dalam kerangka Stewardship Theory, keberhasilan tersebut mencerminkan
semangat aparatur birokrasi untuk tidak sekadar menjalankan tugas formal,
melainkan bertanggung jawab secara moral atas amanah keuangan publik.
Jika kita tinjau dalam
kerangka institutional isomorphism, keberhasilan ini mencerminkan
konvergensi tata kelola keuangan daerah terhadap praktik kelembagaan yang
semakin profesional, terstandar, dan sejalan dengan ekspektasi masyarakat dalam akuntabilitas publik. Dalam konteks
ini, perolehan WTP tidak semata hasil kepatuhan administratif, tetapi juga
proses internalisasi nilai-nilai efisiensi, transparansi, dan kredibilitas sebagaimana
dituntut oleh lingkungan kelembagaan yang lebih luas.
Opini WTP tidak diberikan
atas dasar kepatuhan semata, tetapi juga mencerminkan kemampuan Pemprov Lampung
dalam menyusun laporan keuangan yang andal dan bebas dari salah saji material.
Dengan kata lain, predikat ini lahir dari proses Panjang yaitu mulai dari
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta
pengawasan. Seluruh tahapan tersebut menguji kualitas manajerial sekaligus
integritas Pemprov sebagai entitas.
Di balik angka sebelas itu,
kita melihat ikhtiar berkelanjutan dalam menindaklanjuti temuan auditor,
menyempurnakan pengendalian intern, serta membangun budaya kerja yang adaptif
dan solutif. Penilaian BPK juga tidak semata mengacu pada format laporan,
tetapi juga pada konsistensi perbaikan sistemis dari tahun ke tahun.
Memang benar, WTP bukan berarti “bebas fraud atau penyimpangan”. Namun ia tetap menjadi indikator penting bahwa sistem pengelolaan keuangan sudah berada pada rel yang benar. Ketika opini ini diraih sebelas kali secara beruntun, ia menjadi simbol yang valid bahwa Pemprov Lampung telah membangun sistem yang bisa dipercaya dan diteladani. Di tengah arus sinisme terhadap birokrasi, capaian ini adalah oase yang layak diapresiasi.
Tantangan kedepan akan
semakin kompleks. Predikat WTP perlu terus dijaga, bukan hanya demi angka
statistik tetapi agar menjadi fondasi bagi transformasi pelayanan publik yang
lebih nyata. Tata kelola yang baik seharusnya tidak berhenti di meja auditor,
tetapi menjadi fondasi bagi peningkatan kualitas layanan di urusan-urusan
strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang langsung
dirasakan masyarakat.
Sebagai akademisi, saya melihat capaian ini bukan sekadar angka tahunan, tapi representasi dari kerja panjang, kolaborasi lintas sektor, serta kepemimpinan yang adaptif. Kisah sebelas kali WTP ini pantas menjadi narasi inspiratif bahwa birokrasi bisa berubah, asal ada kemauan untuk belajar, konsisten dalam pelaksanaan dan pengawasan, serta terbuka pada evaluasi.
WTP
Sebelas Kali: Konsistensi dan Keteladanan Pemprov Lampung
Oleh: Saring Suhendro
Pengamat
Keuangan Publik