Ingin Negara Bersih? Maka Perkuat KPK (Bagian 1 Dari 3 Tulisan)
Belum kita lupakan momentum dengan heroiknya bapak
Presiden Jokowi saat menyatakan komitmen perkuat KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dalam sidang bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPR-DPD) di kompleks Istana Kepresidenan belum lama ini
(Kompas, 16/8/2017). Namun, tak berselang lama justru himbauan komitmen ini
justru dilanggar sendiri oleh anggota DPR yang hadir. Dibuktikan dengan
pembentukan pansus angket KPK dan pernyataan–pernyataan pada didiskusi publik
di media televisi, seperti pada acara Indonesia Lawyers Club TV One
(9/11/2017).
Pernyataan Fahri Hamzah cs yang hadir dalam diskusi
tersebut jelas kontraproduktif dengan himbauan Jokowi bahkan misleading (menyesatkan), alih–alih
ingin membangun dan memperkokok demokrasi justru malah mendorong pelemahan KPK, dalam rangka membangun sistem permisif (mendukung) terhadap korupsi
yang memperlemah demokrasi dan pertumbuhan ekonomi di jangka panjang.
Ada dua proposi yang menggelitik dalam diskusi di Tv
One tersebut dan muara dari perdebatan yang berlangsung:
Pertama, Mendorong
penghapusan lembaga KPK dengan dalih memperkuat demokrasi. Dengan anggapan
sistem demokrasi adalah sistem suci yang melekat padanya mekanisme check and balance, sehingga semua aktor
dan institusi didalamnya bersih.
Kedua, Tidak
diperlukan lembaga superbody (kuat)
untuk melakukan penindakan dan pencegahan terhadap korupsi alias bubarkan KPK.
Untuk membangun kerangka yang lebih kritis terhadap
proporsi diatas, maka kita perlu menguji dan melihat lebih komprehensif
terhadap penggiringan pendapat publik mengenai upaya pelemahan KPK diatas
sebagai bentuk imunitas (daya tahan)
serta dukungan publik dalam rangka menguatkan dan memperkokok KPK .
Menguji
benarkah demokrasi bersih sehingga tidak diperlukan lembaga KPK
Dalam banyak jurnal, memang banyak kita dapatkan bahwa
sistem demokrasi mendorong adanya pertumbuhan ekonomi (growth), (Rodrik: 2004) menyatakan bahwa demokrasi memberikan
banyak manfaat kepada individu dalam rangka penguatan dan kebebasan yang berimbas
posistif terhadap kesejahtraan sehingga dalam jangka pendek mampu mendorong
adanya pertumbuhan dan mengurangi ketidaktentuan (volatility) ekonomi. Begitupun menurut Wiig dan Kolstad (2011) demokrasi
mampu mengurangi adanya korupsi. Namun apakah hal ini berarti serta merta
berdampak langsung, yang berarti jika demokrasi berarti korupsi langsung hilang
seperti penelitian diatas.
Dengan menggunakan data Democratic Politic Culture, Moreno (2002) menyatakan budaya
permisif terhadap korupsi merupakan faktor yang mepengaruhi tingkat
keberhasilan demokrasi. Democratic
Politic Culture merupakan indikator adanya kepercayaan (trust) antar individu (interpersonal) yang akhirnya berdampak
terhadap keberhasilan demokrasi. Artinya keberhasilan demokrasi mesti didukung
oleh kepercayaan publik terhadap institusi sehingga akhirnya mampu mereduksi
adanya korupsi, maka terdapat variable intermediasi
trust sebagai variable tidak
langsung keberhasilan demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya atau sikap
penerimaan masyarakat terhadap tindak korupsi menjadi elemen penting
keberhasilan demokrasi.
Seperti yang terjadi pada Chile dan Filipina medio
tahun 2000, tingginya penerimaan (permissive)
terhadap korupsi maka menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat terhadap
demokrasi, begitupun yang terjadi pada Rusia,
Levin dan Satarov (2000) menyatakan perubahan yang fundamental dalam
institusi merupakan langkah penting untuk melawan korupsi di Rusia. Jika
melihat kondisi rusia ditahun 1995 -1996 memperlihatkan tindak korupsi yang
mengakar dari tingkat grassroot
hingga atas yang akhirnya menjadikan korupsi sebagai norma sosial masyarakat
atau tingkat penerimaan (permissive)
yang tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Oleh sebab itu, budaya partisipatif masyarakat (trust) yang merupakan pengejawantahan
adanya budaya interpersonal masyarakat menjadi penting diwujudkan dalam rangka
mewujudkan sistem demokrasi yang bersih. Hal ini diperlihatkan dalam peneltain
Olken (2007) yang memperlihatkan kenaikan partisipasi masyarakat dalam
pengawasan (monitoring) proyek pembangunan KDP (Kecamatan Development Project). KDP mampu mengurangi adanya korupsi
hingga 27.7% adanya korupsi pengaturan (mark
up) anggaran. Hal ini memperlihatkan bahwa partisipasi masyarakat dan
kepercayaan (trust) publik merupakan
elemen penting keberhasilan demokrasi.
Jadi tidak serta merta demokrasi, lalu korupsi hilang
lantas menjadi sejahtera. Sungguh kesalahan besar mengagap demokrasi bersih
dengan sendirinya tanpa sokongan publik (check
and balance) dalam rangka membangun budaya, norma anti korupsi. Kesalahan
pada proporsi inilah yang mencipatakan ketersesatan (misleading), logika zero
enemys merupakan logika kaum pro status
quo yang menginginkan negara menjadi gagal. Sehingga tepat dititik inilah
masih diperlukan lembaga superbody seperti KPK dalam upaya memupuk kepercayaan
terhadap institusi.
Bersambung:
Bersambung:
- Evidance (Bukti) Rendahnya Kepercayaan Publik Terhadap Institusi di Indonesia (Bagian 2)
- Perlu Penguatan KPK dan Evaluasi Sistem Indikator Keberhasilan Lembaga (Bagian 3, Habis)