Kaum Sarungan dan Bisul
Di Indonesia, sarung itu justru membentuk formasi
sosial masyarakat. Kuntowijoyo (1987), dalam Religion, State and Social Formation in Indonesia, menyebutkan
kalau sarung diindentikan sebagai indentitas budaya santri, disebut sebagai
kaum sarungan. Istilah kaum sarungan sendiri, asalnya merupakan frase kampanye
yang sering dipergunakan oleh kelompok PNI Kiri dan PKI, untuk menyerang kaum
santri di Jawa Tengah. Diolok-olok sebagai kaum sarungan. Dan ini bukan sekedar
olok-olok, tapi karena kesadaran politik tokoh-tokoh PNI Kiri dan PKI yang
tidak mungkin menggunakan pendekatan kelas secara murni. Lalu, pendekatan
budaya dan identitaslah yang kemudian dipergunakan sebagai ganti pendekatan
kelas.
Istilah kaum sarungan itu, menjadi slogan yang populer,
khususnya orang-orang PNI Kiri dan PKI. D.N. Aidit, dalam penutupan Kongres
CGMI, organisasi mahasiswa underbouw
PKI, membuat statement yang fenomenal sampai sekarang; “Kalau Kalian tidak dapat membubarkan HMI, Pakai Sarung Saja”!.
Mungkin karena nyingung-nyinggung soal sarung, sewaktu Bung Karno berkeinginan
membubarkan HMI karena dicap anak Masyumi, HMI malah diselamatkan oleh tokoh
kaum santri atau sarungan dari NU, K.H. Saifuddin Zuhri.
Lalu apa hubungannya jauh-jauh ngomongin sarung, kok
ujungnya bisul?. Yah hubungannya itu
tidak langsung saja. Sarung itu bagian cara berpakaian segala usia, segala
umur, segala strata dan segala medan. Terasa sebagai masyarakat melayu kalau
memakainya.
Medan apapun, sampeyan bisa pakai sarung. Presiden
Jokowi saja, sekarang ini kemana-mana juga sering pakai sarung. Acara
kenegaraan atau bukan, pakai sarung. Jadi, sampeyan bisa laporkan ke Presiden
kalau sampeyan ditegur atasan sewaktu kerja pakai sarung, bila perlu ke Komnas
HAM.
Selain untuk dipakai dengan nyaman, sarung juga bisa
jadi modus bagi sampeyan yang bisulan. Bisul ini, kalau dia orang, pintar
betul. Bisul ini sebenarnya parasit yang nempel di tubuh. Tanpa suara, tanpa
terlihat, dan tahu-tahu nempel. Nempelnya juga cerdik sekali, menyusup pada bagian-bagian yang sensitif.
Bisul ini mengerti betul kalau orang sarungan itu nyaman.
Orang sarungan itu, kalau dilihat dari aspek gerak,
berada pada titik puncak kebebasan gerak. Bisul ini, dengan kurang ajarnya,
memanfaatkan betul kekuatan orang sarungan itu. Menampar bisul, berarti
sampeyan menampar orang sarungan, dan dengan kebebasan geraknya, sampeyan balik
kena tampar. Orang sarungan itu sebenarnya tidak nyaman dengan nempelnya si
bisul itu. Tapi, mau dipecah sendiri juga sulit, letak bisul nempel itu yang
memang kebangetan pinternya.
Pemecahannya hanya memang soal waktu. Mempercepat
bagaimana bisul itu matang dan pecah dengan sendirinya. Bisa dengan dioles
dengan daun mantang dan tidak makan makanan berprotein. Istilahnya, kembali ke khittah sebagai manusia yang bersahabat
dengan alam, tanah air dan pusaka bangsa. Istilah kekiniannya, kembali ke green atau hijau, dan tidak memakan
protein-protein hewani, cukup tempe sebagai gantinya.
Bagi yang tidak bisulan, sampeyan bisa dukung dengan
doa dan usaha. Berdoa yang bisulan diberi kekuatan batin untuk tidak cepat
marah kalau bisulnya kesenggol. Dan juga bisa membantunya, khususnya yang muhrim, mengolesi dengan salep
atau daun mantang. Jangan sudah tidak membantu, malah sampeyan ngece-ngece
orang sarungan.
Intinya, sarungan itu kepenak dan isis. Dan terakhir,
sementara kalau nanti sampeyan bertemu saya, tolong jangan nyenggol-nyenggol
saya dulu.
Kaum Sarungan dan Bisul
Oleh: Muslimin
Akademisi Universitas Lampung