Small Resarch ISEI Lampung Bahas Dampak Permasalahan Lahan Terhadap Kesenjangan Sosial Ekonomi di Lampung
Salah satu tim peneliti, Fitra Dharma,
kepada katalampung.com mengatakan,
ISEI Lampung telah membentuk tim peneliti untuk mengkaji permasalahan ini dan
hasil kajian itu akan disampaikan pada Seminar Nasional dan Sidang Pleno ISEI. Menurutnya,
ditunjuknya Lampung untuk membahas small
researh dengan menyoroti permasalahan lahan karena Lampung termasuk wilayah
yang memiliki potensi cukup besar dalam konflik lahan.
“Dari data di Polda Lampung, pada tahun 2016 terdapat
65 permasalahan yang berpotensi
konfilik. Dengan rincian, sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah
sebanyak 11 masalah, masyarakat dengan perusahan terkait sengketa lahan dan
penjarahan sebanyak 30 masalah. Masyarakat dengan masyarakat dengan terkait
kriminal, tempat ibadah, politik, lahan, batas wilayah, terdapat 24 masalah. Namun,
permasalahan tersebut tidak pecah menjadi konflik karena langsung segera ditangani
,” ujar Fitra.
Saat disinggung mengenai banyaknya kasus pertanahan di
Lampung, Fitra menjelaskan, maraknya kasus pertanahan yang terjadi ditengah
masyarakat dewasa ini merupakan bentuk dari belum mampunya pemerintah mencapai
tertib administrasi pertanahan. Sehingga memberi peluang terjadinya
perselisihan baik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok
individu (masyarakat) atau bahkan masyarakat dengan pemerintah. Dan pihak-pihak
yang berkonflik menyatakan paling berhak atas lahan yang di perselisihkan.
Berdasarkan analisis tim, menurut Fitra, kesimpulan dan
rekomendasi dalam penelitian ini, pertama,
peraturan pertanahan. Saat ini tanah sudah menjadi komoditi ekonomi dan tumpang
tindihnya peraturan dan lembaga yang menangani pertanahan. Maka dari itu
pertanahan harus dilindungi oleh peraturan yang tegas dan terukur serta
memperjelas kepemilikan lahan masyarakat. Peraturan yang telah usang (zaman Belanda)
harus diperbaharui dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi masyarakat.
Kedua, administrasi
pertanahan. Tidak tertibnya administrasi pengelolaan aset tanah dan overlap administrasi instansi pusat dan
daerah/BUMN/BUMD. Oleh sebab itu perlu kiranya untuk memperbaharui administrasi
dengan basis digital dan
singkronisasi administrasi tanah dengan basis data terintegrasi.
Ketiga, Corporate Greed. Sengketa dan perkara
tanah, dalam hal ini korporasi yang mempertimbangkan kepastian hukum pemilikan
tanah. Untuk konflik tanah, partisipasi atau pelibatan masyarakat dalam proses
bisnis.
Keempat,
lanjut Fitra, Budaya Masyarakat Lampung. Berdasarkan penelitian, etika kerja
masyarakat rendah dan budaya lokal kurang produktif dan lebih kearah konsumtif.
Mengatasi permasalahan ini perlu kiranya dengan etika kerja yang dipacu dengan
pendampingan untuk meningkatkan produktifitas. Selain itu, redefinisi budaya
daerah dengan mereorientasi pada budaya yang produktif, anti malas dan
menjunjung harga diri dengan berbasis pada pengetahuan, inovasi, dan entrepreneurship dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai luhur lokal dan nasional.
Kelima,
Pengetahuan dan Kreatifitas Masyarakat, yakni fenomena ekonomi digital yang lambat
direspon dan kurangnya inovasi karena pendidikan masyarakat umumnya rendah. Solusi
dari permasalahan ini adalah dengan meningkatkan dan memperluas pengetahuan
masyarakat tentang teknologi informasi dan komunikasi. Dari segi inovasi perlu
adanya teknologi tepat guna berbasis sumberdaya lokal dengan sentuhan konsep dan
desain yang lebih mutakhir melibatkan perguruan tinggi setempat.
Keenam, Kemiskinan
yang terdiri dari ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan tanah dan rasio
luas tanah dan pertumbuhan penduduk tidak seimbang. Mengatasinya dengan
penegasan land reform dengan road map yang transparan, akuntabel,
adil dan partisipatif. Tanah non produktif perlu diatur untuk dikelola kembali
oleh negara, kemudian dimanfaatkan untuk pemerdayaan masyarakat.(gsu)