Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Perbankan
Seperti kita ketahui, UMKM dengan segala keterbatasannya telah teruji dan tetap survive dalam menghadapi badai ekonomi nasional tahun 1998. Hal ini disebabkan bisnis UMKM merupakan konsumsi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari. Bahkan turunnya daya beli masyarakat tidak berpengaruh signifikan terhadap segmen UMKM
Berdasarkan data Kementerian UMKM pada tahun 2014
terdapat 57,8juta pelaku UMKM di Indonesia dan terus tumbuh setiap tahunnya. Hal
ini juga yang memacu adrenalin
perbankan berskala nasional maupun daerah bahkan desa (BMT/Koperasi) untuk bertempur memenangkan market share pembiayaan di segmen UMKM. Tentunya hal ini merupakan
asupan multivitamin dan gizi yang
baik bagi pelaku UMKM dalam mengatasi kendala keterbatasan modal dalam “mengepakan sayap-sayap” bisnisnya.
Segmen UMKM merupakan segmen yang unik bagi dunia
perbankan, terpenuhinya kecukupan modal terkadang tidak selalu berbanding lurus
dengan kemajuan UMKM. Bahkan miris -berdasarkan faktual yang terjadi
dilapangan- pada beberapa case UMKM justru
kolaps setelah mendapatkan suntikan
modal dari perbankan. Hal ini disinyalir disebabkan oleh manajemen pengelolaan
usaha dan sumber daya manusia pelaku UMKM yang masih kurang baik. Selain itu
tidak dapat kita pungkiri masih lemahnya inisiasi
*dan mitigasi** resiko dari pihak
perbankan dalam pencairan kredit UMKM.
Saat ini nyaris semua perbankan nasional maupun daerah
memiliki divisi sendiri yang mengelola UMKM.
Persaingan yang ketat menggeser arah perbankan yang sebelumnya “berbisnis dan pembinaan” menjadi “bisnis dan bisnis”. Kondisi ini tentunya
membuat pembiayaan segmen UMKM menjadi “jenuh”
dan tentunya menjadi tidak baik bagi pelaku UMKM dan perbankan itu sendiri.
Idealnya dalam pembiayaan UMKM, pihak perbankan harus
mengedepankan pembinaan antara lain:
Pertama,
Tujuan pinjaman harus tervalidasi
kebutuhannya. Sebagai contoh, tujuan pinjaman untuk kebutuhan modal harus
sesuai besaran kebutuhannya, sehingga pinjaman modal kerja tidak dipergunakan
untuk hal-hal konsumtif yang justru dapat
melemahkan kapasitas UMKM itu sendiri.
Kedua,
Kemampuan bayar dari UMKM harus disesuaikan. Sehingga pembayaran kredit
diperoleh pelaku UMKM dari keuntungan usaha, bukan dari modal usaha.
Ketiga, pendampingan bagi pelaku UMKM
dalam pengelolaan usahanya. Sehingga kesalahan menejemen usaha dapat dideteksi
sejak dini dan perbankan dapat memberikan solusi bagi pelaku UMKM.
Keempat,
diharapkan pelaku UMKM dapat menjadi mitra bisnis perbankan bukan hanya menjadi
objek bisnis perbankan.
*Awalan,
lebih kepada pemberian kredit
**Lebih
kepada memperkecil resiko
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Perbankan
Oleh : Elpranoza Giatra Rustam (Ozza)
Oleh : Elpranoza Giatra Rustam (Ozza)
Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung/ Praktisi Perbankan