Grafik Gini Ratio Menurun, Indikator Pemerataan Pembangunan Lampung
"Gini Ratio merupakan ukuran ketimpangan
pengeluaran penduduk, yang merupakan salah satu indikator perhitungan angka
kemiskinan. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketimpangan yang
semakin tinggi" ujar Kepala Humas Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Lampung, Gunawan Catur, saat ditemui, Rabu (27/12).
Gunawan menjelaskan, penghitungan Gini Ratio dihitung
per semester, berdasarkan pergerakan angka kemiskinan, terakhir yang telah di
publikasikan ialah pada semester I dari Oktober 2016 - Maret 2017. Untuk yang
semester II Juni - September 2017, akan di rilis pada Bulan Januari 2018.
Ratio Gini, atau Koefisien Gini, biasa disebut juga
Indeks Gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan
secara menyeluruh.
Nilai Koefisien Gini berkisar antara 0 hingga 1. Nilai
0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna, angkanya menurun
berarti ada perubahan positif dalam suatu daerah, atau setiap orang memiliki
pendapatan yang sama. Namun jika semakin mendekati 1 berarti ketimpangan
meningkat.
Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran
penduduk Lampung yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,334. Angka ini
menurun sebesar 0,024 poin jika dibandingkan dengan September 2016 yang
sebesar 0,358.
Sementara itu jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret
2016 yang sebesar 0,364, Gini Ratio Maret 2017 turun sebesar 0,03 poin.
Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2017 tercatat
sebesar 0,364 turun dibanding Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,384 dan
Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,393.
Sedangkan Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret
2017, tercatat sebesar 0,297 turun dibanding Gini Ratio September 2016
yang sebesar 0,311 dan Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,330.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan
tingkat ketimpangan pengeluaran selama periode Maret 2016 – Maret 2017
diantaranya adalah: Menguatnya perekonomian penduduk kelas menengah (kelompok
40 persen menengah).
Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk
bekerja dengan status berusaha sendiri/dibantu pekerja tidak dibayar yang
merupakan kelompok terbesar pada kelas menengah sebagai dampak dari lebih
kondusifnya pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas), terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berusaha
sendiri/dibantu pekerja tidak dibayar dari 1.491,2 ribu orang (Februari 2016)
menjadi 1.550,5 ribu orang (Februari 2017) atau naik sekitar 3,98
persen.
Untuk lapangan usaha industri pengolahan, konstruksi,
perdagangan, dan angkutan peningkatannya dari 1.446,1 ribu orang (Februari
2016) menjadi 1.462,4 ribu orang (Februari 2017).
Kenaikan pengeluaran kelompok bawah yang merefleksikan
peningkatan pendapatan kelompok penduduk bawah tidak lepas dari upaya
pembangunan infrastruktur padat karya, dan beragam skema perlindungan dan
bantuan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lainnya yang
dijalankan oleh pemerintah.