May Day, Peristiwa Bersejarah Perlawanan Terhadap Kelas Penindas
Dalam
keterangannya dijelaskan bahwa May Day adalah satu peristiwa bersejarah dalam
tradisi bejuang yang sengit terhadap kelas penghisap dan penindas. Perjuangan
tanpa kenal menyerah yang dilakukan jutaan kelas buruh saat itu telah
memberikan inspirasi yang tiada terkira. Keteguhan sikap, pengorbanan serta
disiplin membaja dalam perjuangan yang bergelora membuahkan hasil yang hingga saat
ini dapat dinikmati oleh rakyat di seluruh penjuru dunia.
Salah
satu kemenangan besar yang diraih adalah penetapan jam kerja bagi buruh, 8 jam
sehari dan 40 jam seminggu (lima hari kerja). Mengakhiri segala bentuk kerja
paksa dan perbudakan yang terselubung dalam kedok hubungan industrial sehingga
buruh tidak lagi harus bekerja dengan jam kerja yang panjang 12-16 jam.
May Day 2018 berlangsung dalam situasi krisis yang semakin akut ditubuh
imperialisme. Hasil survey word
employment and social outlook menyebutkan, jumlah orang yang menganggur
secara global diperkirakan naik hingga 204 juta jiwa, atau bertambah 2,7 juta
dari tahun sebelumnya pertumbuhan ekonomi yang terus mengecewakan dan
berkinerja buruk bahkan hampir semua negara-negara besar seperti Tiongkok,
Jepang, AS dan Inggris memangkas target pertumbuhan ekonominya.
Di
sisi lain, ketimpangan sosial ekonomi telah melesat ke "level ekstrim". Laporan yang
dihasilkan kerja bersama lebih dari 100 periset di lebih 70 negara, menemukan
bahwa jumlah pemilik kekayaan terbesar di dunia hanya milik sekitar 0,1% dari
total populasi masyarakat dunia (sekitar 7 juta orang) sedangkan populasi
lapisan termiskin menyentuh angka 50,8% atau diperkirakan 3,8 miliar orang dari
total 7,6 miliar orang.
Tentu
hal ini tidak lepas dari peran kebijakan-kebijakan anti rakyat dalam membentuk
ketimpangan. Indonesia yang memegang peringkat keempat sebagai negara dengan
ketimpangan sosial paling buruk, banyak menerapkan kebijakan anti rakyat yang
kontradiktif dengan cita-cita kesejahteraan dan kedaulatan. Misalnya pencabutan
subsidi BBM dan TDL yang justru sangat kontradiktif dan diskriminatif dengan
pemberlakuan tax amnesty dan tax allowance.
Enam
belas paket kebijakan ekonomi yang digulirkan oleh rezim Jokowi-JK adalah manifestasi
dan penerapan neoliberalisme di Indonesia yang semakin menjauhkan rakyat dari
sarana-sarana publik (pendidikan, pekerjaan yang layak, tanah dll) yang
seharusnya di berikan oleh negara secara cuma-cuma bagi seluruh rakyat, kini
hanya bisa di akses oleh sebagian kelompok yang mempunyai kekuatan ekomomi di
atas rata-rata. Kebijakan ekonomi jilid empatnya, secara langsung telah
melahirkan PP No. 78/2015 tentang pengupahan.
Upah
buruh pada setiap tahunnya digantungkan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan
inflasi nasional, aturan baru yang ditunjuk untuk memastikan politik upah murah
dapat berjalan semakin baik. Pada awal tahun 2018 dibuka dengan kenyataan pahit
terhadap implementasi PP 78/2015. Kementerian Ketenagakerjaan menginstruksikan
seluruh daerah untuk mengatasi kenaikan upah buruh sebesar 8,71% sesuau
mekanisme PP No 78/2015. Padahal PP 78/2015 sejak awal cacat secara konstitusi
dan arti demokrasi dengan menghilangkan peran buruh untuk terlubat falam
perumusan upah.
Celakanya
upah buruh indonesia ditekan serendah-rendahnya beriringan dengan pencabutan
subsidi di sektor vital yang mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok
seperti sembako, BBM, Listrik dll. Secara otomatis, beban ekonomi keluarga
buruh semakin tinggi, dan semakin sulit melepaskan jerat kemiskinan.(rls/mayday)