Pemerintah Keluarkan Kebijakan Pengendalian Defisit Neraca Transaksi Berjalan

KATALAMPUNG.COM – Pemerintah mengeluarkankan kebijakan terkait pengendalian deficit neraca transaksi berjalan (current account). Kebijakan ini melihat perkembangan perekonomian global saat ini telah memberikan dinamika yang tinggi terhadap neraca transaksi berjalan dan mata uang di banyak negara, termasuk Indonesia.


Pemerintah Keluarkan Kebijakan Pengendalian Defisit Neraca Transaksi Berjalan


Melelaui keterangan tertulisnya, Rabu (5/9), Kementerian Keuangan RI mengungkapkan pada semester I 2018, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia mencapai USD13,5 miliar (2,6 persen terhadap PDB).

Salah satu penyebab defisit transaksi berjalan adalah pertumbuhan impor (24,5 persen year to date Juli 2018) yang jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor (11,4 persen year to date Juli 2018).

Dengan demikian, Pemerintah memandang perlu untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan untuk menjaga fundamental ekonomi Indonesia.

Untuk itu, Pemerintah menjalankan sejumlah bauran kebijakan. Pemerintah melakukan tinjauan terhadap proyek-proyek infrastruktur Pemerintah khususnya proyek strategi nasional, implementasi penggunaan Biodiesel (B-20) untuk mengurangi impor bahan bakar solar, serta melakukan tinjauan kebijakan Pajak Penghasilan terhadap  barang konsumsi impor untuk mendorong penggunaan produk domestik.

Pemerintah telah melakukan tinjauan terhadap barang-barang yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 132/PMK.010/2015, PMK 6/PMK.010/2017 dan PMK 34/PMK.010/2017.

Proses tinjauan dilakukan secara bersama-sama oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kantor Staf Presiden. Tinjauan dilakukan dengan mempertimbangkan kategori barang konsumsi, ketersediaan produksi dalam negeri, serta memperhatikan perkembangan industri nasional.

Hasil tinjauan menyimpulkan bahwa perlu dilakukan penyesuaian tarif PPh Pasal 22 terhadap 1.147 pos tariff dengan rincian sebagai berikut:

Pertama, 210 item komoditas, tarif PPh 22 naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Termasuk dalam kategori ini adalah barang mewah seperti mobil CBU, dan motor besar.

Kedua, 218 item komoditas, tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Termasuk dalam kategori ini adalah seluruh barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti barang elektronik (dispenser air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari hari seperti sabun, sampo, kosmetik, serta peralatan masak/dapur.

Ketiga, 719 item komoditas, tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Termasuk dalam kategori ini seluruh barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya. Contohnya bahan bangunan (keramik), ban, peralatan elektronik audio-visual (kabel, box speaker), produk tekstil (overcoat, polo shirt, swim wear).

Kebijakan untuk melakukan pengendalian impor melalui kebijakan Pajak Penghasilan bukan merupakan kebijakan yang baru pertama kali dilakukan Pemerintah. Pemerintah pernah memberlakukan kebijakan yang serupa di tahun 2013 dan tahun 2015.

Pada tahun 2013, Pemerintah menerbitkan PMK Nomor 175/PMK.011/2013 juga dalam rangka mengendalikan impor setelah Taper Tantrum. Saat itu, pemerintah menaikkan tarif PPh Pasal 22 atas 502 item komoditas konsumsi dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.

Pada tahun 2015, Pemerintah melanjutkan kebijakan ini dengan menerbitkan PMK nomor 107/PMK.010/2015. Melalui PMK tersebut Pemerintah menaikkan tarif PPh Pasal 22 atas 240 item komoditas konsumsi dari 7,5 persen menjadi 10 persen atas barang konsumsi tertentu yang dihapuskan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) nya.

Pembayaran PPh Pasal 22 merupakan pembayaran Pajak Penghasilan di muka yang dapat dikreditkan sebagai bagian dari pembayaran PPh terutang di akhir tahun pajak. Oleh karena itu, kenaikan tarif PPh 22 pada prinsipnya tidak akan memberatkan industri manufaktur.

Dalam rangka mendukung kebijakan Pemerintah dalam memitigasi dampak volatilitas ekonomi global, Kementerian Keuangan akan terus melakukan simplifikasi administrasi perpajakan dan kepabeanan. Sinergi DJP dan DJBC akan terus diarahkan untuk meningkatkan pelayanan dan tingkat kepatuhan yang mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Salah satunya melalui percepatan pelayanan restitusi, khususnya untuk pelaku usaha yang memiliki reputasi yang baik.(kmk/dde)
Diberdayakan oleh Blogger.