Membangun Keuangan Inklusif Dari Pinggiran


OPINI - Keuangan inklusif saat ini menjadi isu global yang mendapat perhatian dari seluruh negara di dunia. Hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengakses produk dan jasa keuangan atau perbankan. Tercatat setidaknya terdapat 2,5 milyar penduduk dewasa atau lebih dari setengah penduduk usia dewasa di dunia tidak dapat menggunakan jasa keuangan formal baik untuk menabung ataupun meminjam. Selain itu, terdapat 62 persen penduduk dewasa atau sekitar 2,2 milyar jiwa, yang umumnya hidup di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah hidup dalam kondisi kekurangan. Fakta lainnya menunjukan adanya lebih dari 800 juta penduduk yang hidup kurang dari US$5 per hari (Chaia, 2009).


Membangun Keuangan Inklusif Dari Pinggiran
Muslimin
Dosen FEB Unila/Ketua LPNU Provinsi Lampung Bidang Ekonomi Kreatif


Definisi keuangan inklusif sendiri tidak ada yang baku dipakai sebagai sebuah kesepakatan international. Untuk otoritas keuangan Indonesia sendiri, mengacu pada pendefinisian tiga lembaga yaitu The Consultative Group to Assist the Poor - Global Partnership for Financial Inclusion (CGAP – GPFI), FATF, Reserve Bank of India. CGAP – GPFI mendefinisikan keuangan inklusif sebagai kondisi dimana penduduk usia kerja memiliki akses yang efektif terhadap kredit, tabungan, jaminan, dan asuransi dari penyedia jasa keuangan formal. Akses yang efektif meliputi kenyamanan dan pelayanan jasa yang bertanggung jawab, harga yang terjangkau oleh masyrakat dan kesinambungan dari penyedia jasa keuangan, yang bertujuan masyarakat yang tersisih secara keuangan akan menggunakan jasa-jasa keuangan formal dibandingkan dengan jasa keuangan informal yang ada. Reserve Bank of India sendiri mendefinisikan keuangan inklusif sebagai proses yang memastikan akses pada produk dan jasa keuangan yang sesuai yang dibutuhkan oleh seluruh kelompok masyarakat yang umum dan kelompok masyarakat yang rentan seperti kelompok masyarakat yang lemah dan masyarakat berpendapatan rendah, dengan harga yang terjangkau yang diatur secara adil dan transparan oleh para pihak terkait secara institusional.

Kondisi tersebut menyebabkan pemimpin-pemimpin dunia melihat perlunya penataan sistem keuangan dan perbankan yang lebih adil dan transparan, yang dapat mendorong partisipasi masyarakat secara luas. Hal ini dapat dilakukan melalui keuangan inklusif dalam sistem keuangan dan perbankan masing-masing negara. Secara internasional, tujuan keuangan inklusif ini sebagaimana yang diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (2003) adalah sebagai berikut: (1) Tersedianya akses dengan biaya yang sesuai untuk seluruh rumah tangga dan perusahaan pada semua layanan keuangan yang bankable, (2) Adanya Institusi yang nyaman, yang ditunjukan dengan adanya sistem manajemen internal yang sesuai, standar kinerja industri dan kinerja monitoring yang dilakukan pasar, yang sesuai dengan regulasi kehati-hatian yang disyaratkan. Kesinambungan keuangan dan institusional melalui fasilitas penyediaan akses jasa keuangan setiap waktu. (3) Banyaknya penyediaan jasa keuangan yang layak sehinga tercipta efektifitas biaya dan luasnya layanan kepada pelanggan yang beragam, yang dapat melibatkan sejumlah kombinasi penyedia layanan pribadi, non-profit dan publik yang layak.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab terkait dengan implementasinya di Indonesia adalah; bagaimana hal itu diimplementasikan?. Kebijakan inklusi adalah kebijakan afirmatif yang lebih bersifat belas kasihan dari sistem keuangan kepada kelompok masyarakat marginal. Untuk menjadi lebih bermartabat, adalah menjadikannya kebijakan yang berpihak dalam bentuk undang-undang, yang disertai oleh konsekwensi-konsekwensi hukum bagi para pelaku industri keuangan, jika tidak melakukan aktivitas inklusi keuangan. Jadi, yang menjadi pokok kebijakan inklusi keuangan adalah bagaimana mendorong kebijakan tersebut pro poor, bukan hanya sekedar charity.

Regulator keuangan di Indonesia terlihat harus lebih mendorong industri keuangan, khususnya perbankan, untuk lebih mendorong perannya sebagai intermediasi keuangan yang dapat menggerakan sektor riil masyarakat. Fungsi ini menjadi penting mengingat terdapat tiga sektor yang berperan dalam menyumbang defisit neraca berjalan Indonesia yaitu; pendapatan investasi, minyak, dan transportasi. Dari ketiga sektor tersebut, pendapatan investasi merupakan penyumbang defisit neraca transaksi berjalan yang paling besar; yaitu sebesar US$7,8 Milyar. Maknanya adalah larinya hasil investasi yang ada di Indonesia ke luar negeri, atau dengan kata lain investasi yang ada di Indonesia tidak memberikan multiplier effek reinvestasi yang dapat memperkuat fundamental ekonomi nasional.

Disinilah pentingnya peran industri keuangan memperkuat fundamental ekonomi nasional melalui pemberdayaan “orang-orang marginal”, orang-orang yang selama ini menjadi pemadam kebakaran pada saat perekonomian dilanda krisis ekonomi dan keuangan. Namun, pada saat kondisi perekonomian stabil, kelompok masyarakat ini diabaikan. Penguatan kelompok masyarakat ini oleh industri keuangan melalui sektor riil menjadi relevan mengingat angka tabungan masyarakat Indonesia adalah yang paling rendah di Asean setelah Vietnam. Sebagai contoh, Pada tahun 2015, deposito perbankan terhadap GDP Indonesia hanya sebesar 33,71%, jauh tertinggal dengan Philipina yang mencapai dua kali Indonesia, bahkah jauh tertinggal dengan Kamboja yang mencapai sebesar 54,33%.

Jika dibandingkan dengan Kamboja dan Vietnam, kelompok masyarakat marginal di Indonesia kemungkinan akan semakin merana. Kamboja dan Vietnam secara ekpansif melakukan pembiayaan besar-besaran kepada masyarakatnya untuk bergerak di sektor riil. Rasio kredit terhadap deposito perbankan Kamboja mencapai sebesar 103,93%. Vietnam lebih gila lagi, rasionya bahkan mencapai 684,2%. Untuk Indonesia sendiri, rasionya mencapai sebesar 93,52%. Kamboja terlihat mengambil kebijakan yang lebih berisiko dibandingkan dengan Indonesia dalam hal ini, mengingat biaya bisnisnya lebih besar dibandingkan dengan Indonesia; yaitu mencapai sebesar 57,2% pendapatan per kapitanya, sedangkan Indonesia mencapai sebesar 19,4%. Namun untuk Vietnam, menjadi pesaing yang kuat dalam menggerakan investasi rakayatnya, dimana biaya untuk memulai bisnisnya hanya sebesar  4,6%.

Momentum keberadaan dana desa dan dana kelurahan yang digerakan oleh pemerintah hendaknya dapat didukung oleh regulator industri keuangan untuk menggerakkan sektor rill pada lapis yang paling bawah, kelompok masyarakat terbesar yang dapat menjadi basis fundamental perekonomian nasional. Dengan berkembangan revolusi industri 4.0., industri keuangan hendaknya dapat mengkolaborasikan pelaku-pelaku di Industri Keuangan, khususnya perbankan dan fintech, menjadi katalis bergeraknya sektor ekonomi riil masyarakat marginal dan juga perdesaan. Dengan kolaborasi tersebut, value-added dapat dinikmati sebesar-besarnya oleh masyarakat di Indonesia, dan tidak terbang ke luar negeri, yang menjadi penyebab defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran.

Namun sekali lagi, hal itu butuh regulasi yang bersifat kewajiban bagi pelaku industri keuangan. Bukan sekedar belas kasihan yang diwujudkan dalam kebijakan yang semu dan alakadarnya. Tabik.

Membangun Keuangan Inklusif Dari Pinggiran
Oleh: Muslimin
Dosen FEB Unila/Ketua LPNU Provinsi Lampung Bidang Ekonomi Kreatif
Diberdayakan oleh Blogger.