Menyoal Tradisi Tembakan di Acara Begawi Lampung

OPINI - Beberapa hari ini masyarakat di tanah air dihebohkan dengan video beberapa anggota polisi tanpa mengenakan pakaian dinas melakukan penembakan ke udara dalam sebuah acara adat Lampung. Video berdurasi kurang lebih 29 detik itu viral di media sosial. Bagaikan api menyambar rerumputan, kilat petir yang menyambar, seperti itulah gambaran bagaimana tajamnya media sosial jika suatu peristiwa yang dianggap unik dan langka tanpa disaring langsung diposting kemudian menyebar kemana-mana. 

Menyoal Viralnya Video Tradisi Tembakan di Acara Begawi Lampung
Rosim Nyerupa

Dalam pengamatan saya di media sosial perhari ini, tidak sedikit pengguna media sosial yang memposting video tersebut. Dalam Facebook misalkan, unggahan akun atasnama Lalu Purna Pancasena Sembilanenamdua mencapai 200.000 ribu tayangan lebih dan lebih dari 2,4 rb Kali dibagikan. Akun ini saya duga kali pertama memposting pada Rabu, 18 September 2019 pukul 13.05 WIB. 

Nampak caption dalam unggahan akun Facebook miliknya, “Sejak kapan ya negara ini memperbolehkan masyarakatnya merayakan pernikah dan seorang polisi berpakaian preman merayakan pernikahan dengan menembakkan senjata???? Apa biar di katakan hebat gitu???? Hadeeeeeh...,” tulisnya.

Meski diduga terkesan ujaran dan mengundang pengguna Facebook bereaksi untuk berkomentar, namun menjadi satu pemakluman bagi saya sebab yang bersangkutan tidak memahami adat budaya Lampung secara utuh.

Sebagai anak yang lahir dari rahim ulun Lampung, tidak salah jika saya angkat bicara sedikit menjelaskan tembakan dalam beberapa prosesi yang terdapat pada perhelatan adat istiadat yang ada di tanah Lampung. Apalagi sudah merambah di udara pemberitaan berbagai media lokal hingga nasional.

Bila menonton video tersebut, bagi masyarakat adat Lampung khususnya pada komunitas Abung Siwo Migo bukan menjadi hal yang asing lagi. Sebab dalam acara adat budaya Lampung yang dikenal dengan istilah Begawi di dalam prosesinya kerap dijumpai adanya tembakan baik memakai alat berupa jeduman, petasan maupun senjata api, bahkan zaman dahulu kala meriam sekalipun.

Di dalam msyarakat adat Lampung, Istilah tembakan disebut timbak. Timbak ini biasanya dilakukan pada saat penyambutan tamu agung, tari-tarian seperti tari meghanai kebumian, Penganggik muli meghanai dalam prosesi cangget. Kemudian pada upacara cakak pepadun, Tari Igel Mepadun oleh Para Penyimbang dan Pengawo Bumi serta arak-arakan calon punyimbang (Pemimpin) dari rumah yang melaksanakan acara menuju balai kencana adat yang disebut nuwo sessat. Begitu juga pada masyarakat Lampung beradat saibatin, penggunaan timbak ini menggunakan meriam terbentuk dalam acara adat tertentu pada saibatin/pemimpin adatnya. Timbak memang menjadi tradisi sejak zaman dahulu kala sebelum negara Indonesia merdeka.

Bila merujuk kepada tradisi sejak zaman lampau ini, maka menjadi hal yang biasa bagi orang Lampung sebab timbak merupakan warisan atau pakkat adat seorang penyimbang/pemimpin adat yang harus dilakukan karena suatu hal yang dianggap sakral.

Menurut tokoh pemuda Lampung Utara, Rahmat Santori gelar Suttan Rajo Mudo, Tembakan dalam prosesi adat Lampung yang disebut timbak tidak sembarangan dilakukan. Karena tembakan itu hanya dilakukan untuk orang-orang tertentu di dalam masyarakat adat yang disebut punyimbang yang mendapatkan warisan secara turun menurun atau warisan adat yang didapatkan baik dari pihak besan, paman dari orang tua perempuan dalam prosesi adat Manjau Balak begawi

Dalam tradisi adat Lampung, Timbak terbagi ke dalam beberapa macam. Sebagaimana ditulis oleh Minak Mailani Amperawan terdiri dari Timbak 12, Timbak 6, Timbak 3 (Serabung Buluh), Timbak 2 (Penahasan), Timbak Jawo dan Timbak Utas.  Dalam penggunaannya, Timbak ini tergantung pada strata Kepenyimbangan keluarga yang melaksanakan acara Begawi adat. Strata Kepenyimbangan dimaksud, Seperti Penyimbang Bumi Asal dengan Timbak 12, Timbak Jawo, dan Timbak Utas. Sedangkan Penyimbang Bumi Biasa itu Timbak 6, Timbak Jawo, dan Timbak Utas dan begitu seterusnya.

Pelestarian adat budaya memang banyak cara agar tetap eksis di masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada. Budaya sebagai sebuah tradisi itu merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang lampau dan dianggap patut. Nilai-nilai kepatutan tersebut dijalankan masyarakat adat secara turun-temurun dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. 

Meski menjadi sebuah tradisi yang dianggap patut, Namun saat melakukan timbak pada pelaksanaannya harus menjadi perhatian khusus bagi penyelenggara. Dimana posisi saat melakukan tembakan, Keamanan dan keselamatan perlu diperhatikan sehingga tidak menimbulkan kejadian yang dapat membahayakan orang di sekitar yang sedang menyaksikan acara tersebut.

Ketiga anggota Polisi yang melakukan timbak pada prosesi cangget adat yang berlangsung di Kelurahan Kotabumi Udik, Kabupaten Lampung Utara itu dilakukan pada hari ketiga begawi tepat pada hari Minggu (15/9) lalu merupakan bagian dari keluarga H. Firdaus Amir gelar Suttan Kider Migo yang melaksanakan Mupadun anak kandungnya M. Aditia Hafis memperoleh gelar Mepuan Rajo Suttan. 

Menanggapi viralnya ketiga anggota yang hadir dalam acara tersebut, Polda Lampung turut angkat bicara saat dihubungi sejumlah awak media. Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Zahwani Pandra Arsyad menyebutkan ketiga anggota polisi itu adalah Bripka MF dinas di Polsek Abung Tengah, Briptu OK dinas di Polres Way Kanan dan Bharatu AI dinas di Baharkam Mabes Polri dan ditempatkan di Sumatera Selatan. 

Secara institusi memang, Polri tentu memiliki aturan dalam penggunaan senjata api bagi aparat. Peraturan yang menjadi acuan dalam penggunaan senjata api oleh polisi diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Meskipun ketiga anggota tersebut tengah dalam proses pemeriksaan oleh Bidpropam Polda Lampung, kita berharap ketiga anggota tersebut tidak diberikan sanksi/hukuman berat oleh pimpinannya. Kemudian dapat disikapi dengan bijaksana, teguran dan peringatan merupakan suatu hal yang wajar, agar ke depan dapat lebih mengendalikan diri sehingga tidak eforia berlebihan sesaat.

Disamping itu, jika ditinjau dari hukum positif, tentu perspektif hukum kepolisian seyogyanya menerapkan Asas Hukum Lex Specialis dalam peristiwa tersebut, tidak bisa juga tanpa mempertimangkan sisi sosial budaya lalu lalu kemudian menerapkan aturan hitam dan putih. Sama halnya dengan prosesi Sebambangan (perkawinan dengan cara larian) dalam adat Lampung, atau bahkan seluruh prosesi adat yang berlaku di Nusantara tidak bisa di katagorikan delik Hukum Dengan pertimbangan sosial budaya dan Asas Hukum Lex Spesial. Hal ini sangatlah penting untuk menjaga kelestarian adat. Disitulah hukuman berkerja untuk menghormati local wisdom ditengah masyarakat.

Jika dilihat dari peristiwa itu, kita meyakini bahwa ketiga anggota polisi tersebut : Pertama, dalam kondisi sadar saat melakukan timbakan pada prosesi begawi adat dengan mempertimbangkan sisi keamanan dan keselamatan. Hal ini dapat dilihat bahwa tidak ada korban akibat timbakan itu. Apalagi mereka juga bagian daripada keluarga bersangkutan yang juga bagian darpada masyarakat adat.

Kedua, keharusan menggunakan senjata api bukan menjadi prioritas utama namun inisiatif mereka saja, sebab timbakan itu dilakukan pada hari ketiga (Akhir) pelaksanaan Begawi, kondisi dimana panitia kehabisan petasan/mercon, mengingat petasan/mercon termasuk barang yang langka apalagi jauh dari kota yang ramai dan biasanya banyak dijual menjelang bulan ramadhan dan tahun baru. 

Ketiga, Mereka telah berhasil mengawal proses berjalannya acara tersebut dengan aman dan kondusif. Setidaknya timbak yang dilakukan oleh mereka, Secara psikologis juga mampu mencegah siapa tahu ada pihak-pihak tertentu berniat tidak baik yang dapat mengganggu acara tersebut. Karena bisa juga terjadi hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban diluar dugaan. Disini dapat kita lihat bahwa mereka memposisikan diri sebagai seorang anggota Polri yang juga bagian daripada masyarakat adat yang fokus terlibat langsung dalam pengamanan acara adat agar kegiatan itu dapat selesai dengan kondusif.

Peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi masyarakat di Lampung khsususnya bagi petugas yang melakukan tembakan pada acara begawi adat. Meskipun dalam tradisi adat budaya membenarkan adanya tembakan sebagai bentuk penghormatan, penghargaan, kebanggaan dan lain sebagainya diharapkan dapat dilakukan sesuai dengan aturan, jumlah letusan disesuaikan dengan pakem adat yang baku dan tidak membahayakan masyarakat sekitar. Kemudian jika menggunakan senjata api harus mendapatkan izin dari pihak kepolisian sebab penggunaan senjata api tidak dapat sembarangan dan aturan hukumnya jelas sebagaimana tertulis diatas. Maka, sebaiknya tembakan keudara yang disebut timbak oleh masyarakat Lampung pada prosesi acara adat menggunakan mercon dan alat penembak lainnya. Karena pada hakikatnya hari ini, substansi yang paling penting adalah letusan (bunyi/suara) yang dihasil dari tembakan itu sesuai pakem adat bukan pada alat apa yang dipakai. 

Kemudian, Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman suku bangsa, adat dan budaya dengan segala tradisinya yang unik sudah menjadi kewajiban untuk kita saling menghormati. Secara hukum pemerintah memberikan perlindungan terhadap adat sepanjang masih hidup dan berkembang ditengah masyarakat.

Tenneng banyu mak limbak, Cappang dikanan kirei, Lamun cawo salah cacak, Dang mettei suyo gaccei.

------------------
ROSIM NYERUPA
Ketua Forum Silaturahmi Muli Meghanai Lampung Tengah
Diberdayakan oleh Blogger.