Ekonomi Kelembagaan Memandang Pajak Digital, Solusi di Tengah Pandemi?

OPINI - Ekonomi kelembagaan merupakan cabang ekonomi yang beberapa dekade belakangan ini mendapat perhatian para ekonom. Fokus kajian dengan melihat fenomena ekonomi secara lebih holistik, menjadikannya bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan. Pandangannya yang holistik sekaligus mengkritik asumsi-asumsi ekonomi yang selama ini banyak dianut secara positivis.

Ekonomi Kelembagaan Memandang Pajak Digital, Solusi Ditengah Pandemi?
Dimas Dwi Pratikno, Badan Pengawas dan Konsultasi Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI)  


Ekonomi kelembagaan pertama kali diperkenalkan oleh Veblen pada tahun 1899, mengkaji kelas sosial yang disebutnya dengan leissure class atau kelas santai. Kelas santai ini adalah kelas orang-orang yang menumpuk harta kekayaan pada masa itu kemudian membelanjakannya  dengan barang-barang mewah untuk dipamerkan dan dipertontonkan di depan publik. Inilah yang menjadi awal kritiknya terhadap asumsi ekonomi tradisional, bahwa transaksi ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh harga tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang ada di masyarakat tersebut. Kritik tersebut bukan berarti menolak asumsi ekonomi tradisional yang positif, namun melengkapi asumsi tersebut dengan melihat di luar faktor-faktor ekonomi.

Professor Erani Yustika membagi tiga aliran ekonomi kelembagaan dalam buku yang ditulisnya. Pertama, Old Institutional Economic (OIE) yang fokus mengkaji hubungan ekonomi dengan sosial kemasyarakatan. Kedua, Quasi Kelembagaan yang mengkaji pentingnya mengembangkan inovasi dalam perekonomian. Ketiga, New Institutional Economic (NIE) merupakan rangkuman dari pemikir-pemikir ekonomi kelembagaan dengan fokus kajian tentang kelembagaan non-pasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan sebagainya.

Daren Acemoglu dan Paul A. Robinson mengeluarkan buku yang berjudul "Why Nations Fail"  pada tahun 2013, dalam buku tersebut mereka menjelaskan secara gamblang bagaimana fenomena ekonomi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-ekonomi. Tiga hipotesis yang mereka simpulkan dari penelitian yang telah dilakukan. Pertama, hipotesis geografis dengan mengambil contoh perbedaan ekonomi Korea Utara dan Korea Selatan yang notabene berjarak sangat dekat namun memiliki corak ekonomi sangat jauh berbeda. Kedua, hipotesis kebudayaan dengan menjelaskan kemajuan yang terjadi di China saat ini bukan karena semangat konfusionisme seperti yang disimpulkan oleh Max Weber dalam menjelaskan kemajuan Jerman akibat etika protestan. Ketiga, hipotesis kebodohan bahwa kemiskinan yang terjadi di Ghana bukan karena Presiden Nkrumah bodoh, melainkan melahirkan kebijakan yang cenderung populis agar dirinya terpilih kembali.

Secara garis besar ekonomi kelembagaan mendukung efisiensi ekonomi dengan membangun struktur kelembagaan yang kuat. Efisiensi ekonomi yang dimaksud, ialah dengan menekan biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi ekonomi. Pandangan Neo-klasik menganggap bahwa pasar berjalan dengan sempurna tanpa biaya apapun karena pembeli memiliki informasi yang sempurna dan penjual saling berkompetisi sehingga menghasilkan harga yang rendah. Faktanya dunia nyata justru tidak sesederhana itu  dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual-beli bisa sangat asimetris.

Lantas, bagaimana hubungannya dengan pajak digital yang diberlakukan oleh pemerintah? Tentu ini akan menjadi tema menarik bagi pengambil kebijakan untuk dipertimbangkan agar kebijakan ini dapat terlaksana dengan tepat sasaran.

Pajak digital yang dikenakan pada Perdagangan Melalui Saluran Elektronik (PMSE), dalam teori ekonomi kelembagaan merupakan salah satu contoh biaya transaksi. Secara sederhana, pajak digital dapat diartikan sebagai tambahan biaya yang perlu dikeluarkan oleh pelaku ekonomi, sehingga berpotensi menurunkan transaksi ekonomi yang terjadi.

Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini memukul seluruh sektor ekonomi dalam negeri. Salah satunya sektor UMKM dengan pekerja terbanyak di Indonesia. Kebijakan pajak digital yang akan diberlakukan tentu akan menambah beban bagi UMKM bertahan di tengah ketidakpastian pasar. Walaupun disisi lain baik bagi penerimaan negara melihat transaksi yang dilakukan via daring cukup besar.

Pada titik tersebut, menimbulkan dilema yang perlu kajian lebih mendalam agar kebijakan ini dapat lebih tepat sasaran dan tidak memberatkan bagi UMKM. Salah satunya dengan menghitung angka pasti berapa penerimaan negara yang akan didapat? Serta perlu adanya klasifikasi pengenaan pajak berdasar besaran nilai transaksi. Hal tersebut diperlukan agar transaksi yang nilainya kecil tidak terdampak dan dapat bertahan di tengah ketidakpastian pasar.

Diberdayakan oleh Blogger.