PWI Lampung Kecam Aksi Kekerasan Aparat Terhadap Wartawan Saat Meliput Aksi Tolak UU Omnibus Law
Bandar Lampung---Persatuan Wartawan Indonesi (PWI) Lampung mengecam aksi kekerasan aparat terhadap empat wartawan saat kericuhan aksi ribuan mahasiswa yang menolak UU Omnibus Law di depan Gedung DPRD Lampung. PWI minta Kapolda Lampung menindak oknum oknum yang bersikap tidak sesuai SOP dan melangar Peraturan Kapolri dalam hal menangani aksi unjuk rasa.
Juniardi, Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung |
"Kita prihatin
dengan kekerasan fisik dan verbal yang dialami kawan-kawan waratawan, termasuk adik adik mahasiswa korban kericuhan
itu. Sebab, jurnalis dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik selalu dilindungi
oleh perundang-undangan. Kami mendesak Kapolda Lampung mengusut tuntas hal
ini." kata Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung Juniardi SIP,
MH, di Bandar Lampung, 10 Oktober 2020.
Menurut Juniardi,
aksi kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa kerap terjadi. Padahal
UU Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia, bukan
hanya untuk pers itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak, termasuk petugas
kepolisian juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam UU Pers.
“Kerja pers
berpedoman pada kode etik jurnalistik, baik kode etik jurnalistik masing-masing
organisasi maupun kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Di mana,
pers bekerja menurut peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers,”
kata Juniardi.
Karenanya, lanjut
Juniardi, pihak manapun yang menghambat dan menghalang-halangi fungsi dan kerja
pers dianggap sebagai perbuatan kriminal dan diancam hukuman pidana dua tahun
penjara. “Dalam Peraturan Dewan Pers diatur terhadap wartawan yang sedang
melaksanakan tugasnya, alat-alat kerja tidak boleh dirusak, dirampas, dan
kepada wartawan yang bersangkutan tidak boleh dianiaya dan apalagi sampai
dibunuh,” jelas Juniardi.
Juniardi
mengatakan, jika wartawan yang meliput aksi protes UU Cipta Kerja sudah
menunjukkan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik jurnalistik
maka seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum. Maka tindakan oknum
polisi yang merusak dan merampas alat kerja wartawan termasuk penganiayaan dan
intimidasi merupakan suatu pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers.
“Perbuatan para oknum polisi itu bukan saja mengancam kelangsungan kemerdekaan
pers tapi juga merupakan tindakan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Ini
merupakan pelanggaran sangat serius,” ujarnya.
Juniardi
menjelaskan selain pers di lindungan UU, dalam hal mengemukakan pendapat di
muka umum, ada dasar hukum yang menjamin, yaitu Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum.
Terkait pengamanan ada Peraturan
Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian
Pendapat di Muka Umum, kemudian Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak
Dalam Penanggulangan Huru Hara.
Menurut Juniardi
aksi unjuk rasa atau menyampaikan pendapat di muka umum memang diperbolehkan
dengan landasan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum (UU 9/1998).
Dalam
pelaksanaannya, kerap sekali penyampaian pendapat di muka umum menimbulkan
kericuhan.
Maka dari itu,
pemerintah memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998
yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung
jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Polri, kata
Juniardi ada standar operasional prosedur (SOP) kepolisian dalam menangani
demonstrasi. "Hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum
memang dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E UUD 1945. Lebih jauh
mengenai mekanisme pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam
UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU
9/1998)," katanya.
Lalu ada Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian
Pendapat di Muka Umum (Perkapolri 9/2008) sebagai pedoman dalam rangka
pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka
pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara (dalam
penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat
dapat berjalan dengan baik dan tertib (Pasal 2 Perkapolri 9/2008).
Maka dengan adanya
pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara sudah menjadi
kewajiban dan tanggung jawab bagi Polri yang termaktub dalam Pasal 13
Perkapolri 9/2008, melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas,
menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan.
"Dalam
menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum Polri harus memperhatikan
tindakannya untuk membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian
pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum Pasal 23
ayat [1] Perkapolri 9/2008.
"Terhadap
peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum. Terhadap
pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional.
Terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap
pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud," katanya.
"Kendati
demikian, pelaku pelanggaran yang telah ditangkap harus diperlakukan secara
manusiawi, tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya. Namun
dalam keadaan darurat, dalam arti perlunya tindakan adanya upaya paksa dari
Polri," kata Juniardi.
Namun, lanjut
Juniardi ditentukan dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan
upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya
tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku,
membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul.
Menghindari keluar
dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan,
tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung
jawab sesuai tingkatannya, tindakan aparat yang melampaui kewenangannya,
tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar
HAM, melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;
Kemudian Peraturan
lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No
16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (“Protap Dalmas”). Protap itu
tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi
melakukan tindakan represif.
Dalam kondisi
apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap
arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota
satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau
memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.
Juniardi
menyebutkan, Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas menyebutkan Hal-hal yang dilarang
dilakukan satuan dalmas yaitu adalah bersikap arogan dan terpancing oleh
perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
Membawa peralatan di luar peralatan dalmas.
Kemudian dilarang
membawa senjata tajam dan peluru tajam. Keluar dari ikatan satuan/formasi dan
melakukan pengejaran massa secara perseorangan. Mundur membelakangi massa
pengunjuk rasa. Dilarang mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan
seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa. Melakukan perbuatan
lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Dalam protap
tersebut juga memuat kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak
hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan
pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan
mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan. Dan
dengan alasan apapun, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi
tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.
Pemukulan yang
dilakukan oleh aparat adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk
menyampaikan pendapat di muka umum.
"Jika hal tersebut dilanggar oleh Polri, dapat dilaporkan ke Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) untuk ditelusuri apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur
pengamanan demonstrasi,"
Mengenai tongkat
yang dibawa oleh aparat, kata Juniardi, bahwa berdasarkan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas
Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”),
aparat diperlengkapi antara lain dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat
lecut, tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan pelontar granat gas air
mata.
Tongkat Lecut
adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua) cm dengan
panjang 90 (sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman pada bagian
belakang tongkat, aman digunakan untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan
satu tangan kecepatan sedang.
Sedangkan tongkat
sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 3 (tiga) cm
dengan panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang
akan melawan petugas (lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010).
"Jadi, memang aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi
diperlengkapi dengan dua macam tongkat sebagaimana tersebut di atas yang
digunakan selama pengamanan jalannya demonstrasi namun tidak membahayakan bagi
demonstran," katanya. (red)