Demokrasi: Dari Janji Menuju Bukti (Yang Dijanjikan Lagi)

Begitulah demokrasi kita. Demokrasi yang unggul dalam mekanisme, tapi miskin subtansi. Demokrasi seolah-olah menjadi tujuan, selama atas nama rakyat banyak, maka semua dianggap baik-baik saja. Tidak melihat bahwa suara rakyat itu adalah tukar menukar jatah satu hari makan siang, dengan menu empat sehat lima sempurna, yang ditukar dengan lima tahun masa jabatan Presiden atau Gubernur/ Bupati/ Walikota.
Demokrasi: Dari Janji Menuju Bukti (Yang Dijanjikan Lagi)
Muslimin
Mekanisme demokrasi kita saat ini ibarat samurai yang dipergunakan oleh balita. Senjata pedang terbaik, yang dipergunakan sebagai hadiah ulang tahun anak usia lima tahun. Senjata yang mengundang pujian, yang dengan waktu yang sama menjadi alat pembunuh balita itu. Balita itu adalah Indonesia kita.

Para pengkultus demokrasi, selalu bilang bahwa demokrasi itu memiliki keunggulan untuk mengoreksi kesalahan yang dibuatnya sendiri. Itu benar, dan itu untuk bangsa yang sudah akil baligh. Bangsa yang mampu membuat pilihan dalam jangka panjang, bukan balita yang masih suka main-main dengan segala barang yang ada didekatnya, yang kalau lapar, walaupun itu api, akan ditelannya. Bangsa yang tidak memikirkan urusan perut sebagai urusan prioritas nomor satu.

Urusan perut ini masih jadi urusan nomor satu bagi bangsa ini. Walaupun bangsa ini kaya, dengan PDB terbesar di ASEAN, tapi kita adalah paling buncit untuk urusan kesejahteraan. Kita, bisa klaim bahwa kita adalah bangsa dengan sumber kekayaan alam pertanian yang luar biasa. Namun itu hanyalah klaim kosong, karena kekayaan pertanian kita hanya sedikit memberikan nilai tambah bagi para pekerja di sektor ini. Jika kita lihat data Bank Dunia Tahun 2015, Nilai tambah yang didapat oleh orang-orang yang bekerja di sektor pertanian Indonesia, hanya sebesar US$2,629. Sangat kecil dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai sebesar US$19,868 atau tujuh kali dari nilai tambah kita. Dan kita semakin melongo melihat Singapura yang tidak memiliki basis pertanian tapi memiliki nilai tambah sebesar US103,264 atau lebih dari 39 kali nilai tambah orang-orang Indonesia.

Apa artinya demokrasi kalau itu menghasilkan banyaknya pengangguran. Tingkat pengangguran kita adalah sebesar 6,18%, kedua tertinggi setelah Filipina. Kita menjadi tidak lebih baik dari negara-negara ASEAN yang sehabis pulih dari perang saudara, seperti Kamboja, Laos dan Vietnam. Pendapatan perkapita mereka semuanya tumbuh di atas 5%, sedangkan kita hanya mampu sebesar 3,5%. Kemiskinan kita tidak lebih baik dari Vietnam. Ada sekitar 3,06% orang miskin di Vietnam yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$1,90 dan ada sekitar 8,25% penduduk Indonesia dengan kondisi serupa.

Lalu kita bertanya, untuk apa dan untuk siapa pilpres atau pilkada langsung itu?. Semua kandidat berjanji soal kesejahteraan yang semakin baik, tapi bukti menunjukan kita semakin miskin. Menjadi terhina dan tidak memiliki martabat dalam pergaulan antarbangsa di dunia, bahkan di ASEAN.  Setiap lima tahun, dan demikian terus berulang, bertabur janji-janji semanis madu dari para kandidat itu.

Kondisi ini akan terus berulang, dimana suara rakyat yang susah makan itu akan melelang suaranya pada penawar tertinggi. Yang terjadi adalah, pemilu/pilpres/pilgub tidak lagi mejadi mekanisme penyaluran kedaulatan rakyat, tapi menjadi mekanisme kedaulatan pangan. Akar masalahnya memang di urusan pangan, urusan penguasaan kekayaan alam, yang saat ini sudah diatur oleh pasar melalui ayat efisiensi berkeadilan dalam amandemen UUD 1945 Pasal 33 ayat 4.

Efisiensi adalah diktum pasar, dan demi kesopanan, diberi pemanis kata keadilan. Atas nama efisiensi, kompetisi dikultuskan sebagai kedok perampokan kekayaan alam secara terang-terangan. Orang-orang menjadi tidak memiliki malu lagi untuk memperkosa negara. Negara dilemahkan dengan melakukan market-oriented structural adjusments, melibas seluruh regulasi-regulasi yang menghambat kompetisi pasar. Penyesuaian struktural itu hanya bisa dilakukan oleh pengendali kebijakan, yaitu pemerintah. Melalui mekanisme demokrasi yang ada saat inilah penyesuaian struktural ini dijalankan. Sistem ini, ibarat pasar, melibatkan seluruh orang yang ada di pasar itu. Jika anda melihat pasar dengan berbagai macam orang  dan apa yang dikerjakannya, begitulah mekanisme demokrasi kita saat ini.

Jadi, selama amandemen pasal 33 terkait dengan efisiensi berkeadilan itu tidak dihapus, janji-janji lima tahunan akan kembali dikumandangkan, jika tidak terbukti, akan dijanjikan lagi lima tahun ke depan, dengan waktu dan tempat yang sama. Dan kita seluruhnya, akan kembali dengan permainan orkestra yang sama,  siapapun itu dan tidak ada terkecuali, termasuk anda yang baca ini dan juga saya. Jujurlah. 

Demokrasi: Dari Janji Menuju Bukti (Yang Dijanjikan Lagi)
Oleh: Muslimin
Akademisi FEB Universitas Lampung
Diberdayakan oleh Blogger.