Demokrasi: Dari Janji Menuju Bukti (Yang Dijanjikan Lagi)
Muslimin |
Mekanisme demokrasi kita saat ini ibarat samurai yang
dipergunakan oleh balita. Senjata pedang terbaik, yang dipergunakan sebagai
hadiah ulang tahun anak usia lima tahun. Senjata yang mengundang pujian, yang
dengan waktu yang sama menjadi alat pembunuh balita itu. Balita itu adalah
Indonesia kita.
Para pengkultus demokrasi, selalu bilang bahwa
demokrasi itu memiliki keunggulan untuk mengoreksi kesalahan yang dibuatnya
sendiri. Itu benar, dan itu untuk bangsa yang sudah akil baligh. Bangsa yang
mampu membuat pilihan dalam jangka panjang, bukan balita yang masih suka
main-main dengan segala barang yang ada didekatnya, yang kalau lapar, walaupun
itu api, akan ditelannya. Bangsa yang tidak memikirkan urusan perut sebagai
urusan prioritas nomor satu.
Urusan perut ini masih jadi urusan nomor satu bagi bangsa ini. Walaupun bangsa ini kaya, dengan PDB terbesar di ASEAN, tapi kita adalah paling buncit untuk urusan kesejahteraan. Kita, bisa klaim bahwa kita adalah bangsa dengan sumber kekayaan alam pertanian yang luar biasa. Namun itu hanyalah klaim kosong, karena kekayaan pertanian kita hanya sedikit memberikan nilai tambah bagi para pekerja di sektor ini. Jika kita lihat data Bank Dunia Tahun 2015, Nilai tambah yang didapat oleh orang-orang yang bekerja di sektor pertanian Indonesia, hanya sebesar US$2,629. Sangat kecil dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai sebesar US$19,868 atau tujuh kali dari nilai tambah kita. Dan kita semakin melongo melihat Singapura yang tidak memiliki basis pertanian tapi memiliki nilai tambah sebesar US103,264 atau lebih dari 39 kali nilai tambah orang-orang Indonesia.
Apa artinya demokrasi kalau itu menghasilkan banyaknya
pengangguran. Tingkat pengangguran kita adalah sebesar 6,18%, kedua tertinggi
setelah Filipina. Kita menjadi tidak lebih baik dari negara-negara ASEAN yang
sehabis pulih dari perang saudara, seperti Kamboja, Laos dan Vietnam.
Pendapatan perkapita mereka semuanya tumbuh di atas 5%, sedangkan kita hanya
mampu sebesar 3,5%. Kemiskinan kita tidak lebih baik dari Vietnam. Ada sekitar
3,06% orang miskin di Vietnam yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$1,90
dan ada sekitar 8,25% penduduk Indonesia dengan kondisi serupa.
Lalu kita bertanya, untuk apa dan untuk siapa pilpres
atau pilkada langsung itu?. Semua kandidat berjanji soal kesejahteraan yang
semakin baik, tapi bukti menunjukan kita semakin miskin. Menjadi terhina dan
tidak memiliki martabat dalam pergaulan antarbangsa di dunia, bahkan di ASEAN. Setiap lima tahun, dan demikian terus
berulang, bertabur janji-janji semanis madu dari para kandidat itu.
Kondisi ini akan terus berulang, dimana suara rakyat
yang susah makan itu akan melelang suaranya pada penawar tertinggi. Yang
terjadi adalah, pemilu/pilpres/pilgub tidak lagi mejadi mekanisme penyaluran
kedaulatan rakyat, tapi menjadi mekanisme kedaulatan pangan. Akar masalahnya
memang di urusan pangan, urusan penguasaan kekayaan alam, yang saat ini sudah
diatur oleh pasar melalui ayat efisiensi berkeadilan dalam amandemen UUD 1945
Pasal 33 ayat 4.
Efisiensi adalah diktum pasar, dan demi kesopanan,
diberi pemanis kata keadilan. Atas nama efisiensi, kompetisi dikultuskan
sebagai kedok perampokan kekayaan alam secara terang-terangan. Orang-orang
menjadi tidak memiliki malu lagi untuk memperkosa negara. Negara dilemahkan
dengan melakukan market-oriented
structural adjusments, melibas seluruh regulasi-regulasi yang menghambat
kompetisi pasar. Penyesuaian struktural itu hanya bisa dilakukan oleh
pengendali kebijakan, yaitu pemerintah. Melalui mekanisme demokrasi yang ada
saat inilah penyesuaian struktural ini dijalankan. Sistem ini, ibarat pasar,
melibatkan seluruh orang yang ada di pasar itu. Jika anda melihat pasar dengan
berbagai macam orang dan apa yang
dikerjakannya, begitulah mekanisme demokrasi kita saat ini.
Jadi, selama amandemen pasal 33 terkait dengan efisiensi
berkeadilan itu tidak dihapus, janji-janji lima tahunan akan kembali
dikumandangkan, jika tidak terbukti, akan dijanjikan lagi lima tahun ke depan,
dengan waktu dan tempat yang sama. Dan kita seluruhnya, akan kembali dengan
permainan orkestra yang sama, siapapun
itu dan tidak ada terkecuali, termasuk anda yang baca ini dan juga saya.
Jujurlah.
Demokrasi: Dari Janji Menuju Bukti (Yang Dijanjikan Lagi)
Demokrasi: Dari Janji Menuju Bukti (Yang Dijanjikan Lagi)
Oleh: Muslimin
Akademisi FEB Universitas Lampung