Korporasi dan Korupsi Sektor Bisnis
Selasa, 7 November
2017, sekitar pukul 06.00 pagi, tertulis pesan di group WA. Sahabat sekaligus
yunior saya di KPK, akan membawa hadiah buku modul terkait dengan korupsi.
Sahabat saya ini mendampingi atasannya, yang sedang ada acara diskusi di
Fakultas Sospol Unila. Audiensinya adalah mahasisa, dosen, dan tamu dari luar
yang kebanyakan adalah politisi dari berbagai partai. Di sela-sela diskusi,
sahabat saya ini bercerita, bagaimana pentingnya aktivitas keorganisasian
mahasiswa dalam rekruitmen kerja di masa depan, baik itu organisasi pemerintah
atau pun bisnis. Ada skoring bagi mahasiswa yang aktif dalam organisasi dalam
proses perekrutan pegawai tersebut, apakah itu organisasi intrakampus ataupun
ekstra kampus, apapun idiologi organisasinya.
Dari berbagai
sumber rekan-rekannya di sepanjang jalan Sudirman, sahabat saya ini mengatakan,
berdasarkan pengalaman para pimpinan ataupun manajer perusahaan, aktivitas
keorganisasian berdampak positif terhadap kinerja organisasi atau perusahaan
yang dipimpinnya. Sahabat saya ini juga bercerita, pimpinan yang dikawalnya itu
sendiri alumni organisasi ekstrauniversiter GMNI. Menurutnya, orangnya lurus
dan pernah mengikuti seleksi pimpinan KPK. Mungkin karena saking lurusnya, tidak mendapat cukup dukungan untuk menjadi
salah satu ketua KPK.
Melihat acara
diskusi yang banyak diikuti oleh para politisi itu, saya menduga modul yang
akan dihadiahinya itu pasti terkait dengan urusan korupsi dan partai politik.
Namun ternyata saya salah duga. Paket modul yang diberikannya itu, yang terdiri
dari 10 buku, justru berkaitan dengan ekonomi, fakultas dimana saya mengajar.
Mata saya sepertinya membesar ketika membaca buku modul kesatu; judulnya,
korupsi terkait sektor bisnis.
Satu yang
membuat saya memiliki pertanyaan besar, apa iya bisnis bisa korupsi?. Bukankah
jika berbisnis uangnya uang sendiri dan bukan uang pemerintah. Namun, setelah
membuka definisi korupsi pada modul itu, ternyata bisnis bisa juga korupsi.
Korupsi sektor bisnis berdasarkan definisi KPK, umumnya terkait dengan
definisi grand corruption, korupsi besar yang melibatkan pejabat publik
tingkat tinggi yang menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai
bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Modus operandi umumnya adalah kolusi
antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan
publik.
Membaca isi modul,
korupsi sektor bisnis sepertinya menjadi perhatian yang sangat serius KPK.
Berdasarkan data KPK, kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta terlihat semakin
meningkat. Selama periode 2014 – 2016, total kasus korupsi swasta adalah
sebanyak 150 kasus dan terbesar dibandingkan dengan pelaku-pelaku lainnya,
seperti anggota DPR/DPRD dan birokrat pemerintah. KPK sendiri
mengklasifikasikan korupsi menjadi 7 jenis tindak pidana korupsi yaitu; (1)
kerugian negara, (2) suap, (3) gratifikasi, (4) penggelapan dalam jabatan, (5)
pemerasan, (6) perbuatan curang, (7) konflik kepentingan dalam Pengadaan.
Terkait dengan sektor bisnis, suap dan gratifikasi merupakan jenis tindak
pidana korupsi yang banyak melibatkan korporasi.
Korupsi sektor
bisnis ini memang bukan urusan main-main. Hal ini karena akan melibatkan
aktor-aktor tingkat tinggi yang memiliki sumber finansial dan pengaruh
kebijakan yang kuat. Aturan terkait dengan pemidanaan korporasi sebagai subjek
hukum diatur pada UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Korupsi. Berdasarkan data KPK, KPK belum satupun dapat menyidangkan korporasi
sebagai terdakwa korupsi, yang menurut KPK, disebabkan masih belum lengkapnya
prosedur hukum acara dalam mempidanakan korporasi. Walaupun KPK belum dapat
melakukan proses pemidanaan pelaku korporasi, Pengadilan Tipikor Banjarmasin
merupakan pengadilan pertama yang dapat menjerat korporasi sebagai pelaku
korupsi yang terbukti melakukan penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari
Banjarmasin. Satu hal yang harus dicatat, hukuman pidana bagi pelaku korporasi
hanya dapat dilakukan pidana denda, dan PT Giri Jaladi Wana yang dinyatakan
bersalah oleh Pengadilan Tipikor Banjarmasin membayar denda sebesar Rp1,3
Miliar dan penutupan sementara perusahaan selama 6 bulan.
Hukum dan bisnis
memang memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam konteks ekonomi, bisnis pun
harus didasarkan atas regulasi-regulasi yang berlaku. Kuatnya regulasi sebagai
aturan main dalam bisnis, selalu menjadi pertimbangan utama investor dalam
melakukan investasi. Dengan adanya korupsi yang dilakukan oleh korporasi, hal
ini menunjukan lemahnya tatanan aturan main dan menjadi faktor yang
meningkatkan risiko investasi pada negara tersebut. Jika hal ini tidak dibenahi,
maka akan berdampak pada daya saing investasi pada negara bersangkutan.
Oleh karena itu,
dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku korupsi dari swasta, pemerintah harus
dapat memformulasikan regulasi-regulasi yang dapat membatasi korupsi pada
sektor bisnis. Bisnis atau swasta merupakan pelaku-pelaku ekonomi yang mampu
mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dalam konteks Indonesia,
program-program pembangunan yang dilakukan saat ini menempatkan aktivitas
swasta sebagai sasaran utama pembangunan melalui fasilitasi infrastruktur di berbagai
bidang. Hal ini tentu sangat membahayakan jika kemudian regulasi tidak mampu
membatasi segelintir swasta atau para pemilik modal melakukan akumulasi dan
penguasaan kekayaan melalui infrastruktur yang dibangun oleh dana rakyat.
Dengan
fasilitasi infrastruktur yang luar biasa oleh pemerintah, pemerintah harus
menegaskan pentingnya korporasi juga bertanggung jawab terhadap pembangunan
nasional dan daerah. Secara teori, korporasi memiliki tanggung jawab kepada
masyarakat dengan dua cara, yaitu; (i) hanya membayar pajak dan (ii) melakukan
aktivitas-aktivitas corporate social
responsibility (CSR). Korporasi dapat memilih apakah hanya membayar pajak
atau membayar pajak plus melakukan
aktivitas CSR. Dalam konteks globalisasi dan kecenderungan masyarakat dunia,
pilihan kedua merupakan pilihan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi di
dunia.
Bagaimana jika
malah korporasi tidak melakukan kedua-duanya; menggelapkan pajak dan tidak
melakukan aktivitas CSR, atau bahkan menggunakan penguasaan politik dengan
mengatasnamakan CSR?. Jika hal ini memang terjadi, benar-benar negara sudah
tidak punya tatanan. Negara bubar tinggal menunggu waktu.