Pesantren dan Kemiskinan Perdesaan
Tidak ada di Indonesia ini yang tidak
tahu jika disebutkan kata pesantren. Setiap orang akan memiliki gambaran atau
kenangannya sendiri jika disebutkan kata ini. Pesantren, dalam konteks sejarah
dan sosiologis, telah menempati posisi tersendiri pada hati setiap
masing-masing orang. Perannyalah yang memberikan pesantren posisioning unik tersebut.
Banyak definisi dan ulasan yang
mengupas apa itu pesantren. Setidaknya, dua orang ahli dan masih dalam satu
moyang ini dapat mewakili. Pertama adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus
Dur (2001) menyebutkan
pesantren adalah tempat dimana santri tinggal. Kedua adalah Nurcholish Madjid
atau Cak Nur (1997), yang mendefinisikan pesantren tidak terlepas dari kata
santri. Santri berasal dari sastri (sansekerta) yang berarti melek
huruf atau kelas literary bagi orang
jawa. Komunitas ini memiliki pengetahuan tentang agama melalui kitab-kitab
yang bertuliskan dengan
bahasa Arab sehingga diasumsikan
bahwa santri berarti
orang yang tahu
tentang agama melalui
kitab-kitab berbahasa Arab
dan atau paling
tidak,
santri bisa membaca
al-Qur'an, yang membawa kepada
sikap lebih serius
dalam memandang agama. Istilah santri juga dikaitkan dengan bahasa
Jawa ”cantrik” yang berarti orang
yang selalu mengikuti
kemana
pun guru
pergi,
dan menetap dengan tujuan
agar dapat belajar
mengenai keahlian tertentu.
Pesantren
pada era saat ini, menjadi prototipe pendidikan yang diadopsi oleh pendidikan
modern. Menjamurnya sekolah-sekolah Islam yang memadukan pendidikan umum dan
dikuatkan dengan pendidikan agama, menjamur di berbagai wilayah. Namun, satu
hal yang tidak dapat ditiru oleh sekolah-sekolah Islam modern tersebut, yaitu;
kepeloporan.
Pesantren
berdiri atas inisiatif dan tanggung jawab dakwah santri sebagaimana yang
diajarkan Islam, sebagai rahmatan lilaalamin atau memayu hayuning bawono. Kepeloporan pesantren adalah bekerja dalam
sunyi, berinteraksi langsung dengan masyarakat tanpa publikasi. Tolak ukur
kepeloporan pesantren ada di masyarakat, pengakuannya akan terlihat pada saat
pesantren tersebut mengadakan acara, khususnya khaul atau peringatan wafatnya
Kyai Pendiri. Dari seluruh penjuru, dengan ketakziman, para santri akan
berbondong-bondong hadir pada acara yang diadakan tersebut.
Kepeloporan
pesantren dalam pencerdasan masyarakat setempat, khususnya dalam bidang agama,
kurang diimbangi dengan fasilitasi posisi pesantren sebagai faktor pendorong
pembangunan lokal. Fokus pesantren pada bidang keagamaan, kurang mendapat
perhatian dari pemerintah untuk memfungsikan pesantrean sebagai aktor dalam
pembangunan wilayah, khususnya perdesaan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi
pesantren saat ini yang terlihat membutuhkan penguatan institusional. Sebagai
potret, berdasarkan catatan pada Kanwil Agama Provinsi Lampung Tahun 2014,
dengan total sebanyak 738 pondok pesantren, sebesar 93,09% pondok pesantren
terdapat di wilayah perdesaan dan 6,91%-nya di wilayah perdesaan. Sebaran
terbesar terdapat di Kabupaten Lampung Timur sebesar 15,85% dan Kabupaten
Lampung Tengah sebesar 15,04%. Dari aspek sebaran wilayah tersebut, posisi
pondok pesantren sebagai pelopor dalam pembangunan sumberdaya manusia menjadi
relevan dan sulit terbantahkan.
Namun
demikian, hidup memang terkadang tidak adil. Ibarat pepatah; sapi punya susu,
kerbau punya nama. Pola pesantren yang banyak dicangkok oleh sekolah-sekolah
Islam modern, dengan biaya masuk sekolah yang mahal dan para pengajar dengan
pendapatan yang lumayan, cenderung menjadi bisnis pendidikan yang tidak semua
masyarakat dapat mengaksesnya. Induk cangkokannya sendiri, pesantren, berjalan
dengan swadaya yang dimilikinya, dan hanya mengandalkan modal sosial sebagai
berkah amal kebajikan yang disebarkan pesantren. Dalam kondisi swadaya
tersebut, wajar jika 76,08% pengajar di pesantren yang ada di Provinsi Lampung masih
memiliki pendidikan dibawah Strata 1.
Stakeholders pesantren,
khususnya pemerintah, harus secara serius mencermati hal ini. kepeloporan
pesantren yang dimotivasi dakwah para santri, harus didukung dengan kebijakan
penguatan institusi pesantren. Mendorong pesantren tidak saja sebagai pelopor
sumberdaya manusia dalam hal baca tulis dan keagamaan, namun menjadikannya sebagai
pemutus mata rantai kemiskinan struktural, khususnya di wilayah perdesaan.
Kemiskinan Perdesaan
Kepeloporan
pesantren dalam mendorong peningkatan sumberdaya manusia masih membutuhkan aksi-aksi
afirmasi dari pemerintah. Dengan kondisi tingkat IPM terendah nomor tiga di
sumatera selama periode 2014-2016, hal ini berdampak pada kondisi kemiskinan
perdesaan di Provinsi Lampung. Tingkat kemiskinan perdesaan di Provinsi Lampung
selama periode 2014-2016, mencapai sekitar 13,87% dan diatas rata-rata
kemiskinan perdesaan nasional yang mencapai sebesar 10,93%.
Dari
sisi keparahan kemiskinan, Indeks Keparahan Kemiskinan Provinsi Lampung
mencapai sebesar 0,52 dan merupakan tertinggi nomor tiga di Sumatera. Capaian
indeks tersebut lebih tinggi dari angka indesk keparahan nasional sebesar 0,46.
Indeks ini menunjukan tingkat kesenjangan antarpenduduk miskin. Kesenjangan
tersebut terlihat lebih tajam di wilayah perdesaan yang ditunjukan dengan
indeks sebesar 0,58, sedangkan di wilayah perkotaan mencapai sebesar 0,38.
Kondisi ini setidaknya mencerminkan pembangunan perdesaan belum berdampak
banyak pada masyarakat miskin di wilayah perdesaan.
Ukuran tingkat kemiskinan lainnya, pun
menunjukan problem kemiskinan perdesaan merupakan prioritas yang harus segera
dibereskan. Indeks kedalaman kemiskinan selama periode 2014-2016 menunjukan
wilayah perdesaan memiliki angka indeks yang lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah perkotaan. Angka Indeks Kedalaman Kemiskinan perdesaan mencapai sebesar
2,41, lebih tinggi dari wilayah perkotaan yang mencapai sebesar 1,5. Dibandingkan
dengan angka nasional, kedua indeks wilayah tersebut menunjukan angka yang
lebih tinggi. Angka Indeks Kedalaman
Kemiskinan ini menunjukan seberapa besar biaya pengentasan kemiskinan yang
dibutuhkan pada masyarakat miskin. Semakin tinggi angka indeks, semakin besar
biaya atau transfer yang harus diberikan kepada masyaraka miskin. Dengan
demikian, biaya pengentasan kemiskinan di Provinsi Lampung, baik oleh
pemerintahan provinsi maupun kabupaten, lebih besar dari rata-rata nasional.
Semakin tinggi angka indeks, semakin sedikit alternatif-alternatif program yang
dapat dibuat untuk masyarakat miskin.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pemerintah
baik pusat dan daerah telah mencoba menjadikan desa sebagai pusat-pusat
pertumbuhan baru yang diharapkan berdampak pada pengurangan kemiskinan. Namun
satu hal yang dilupakan, pendobrak pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui
dakwah keagamaan yang dilakukan pesantren belum mendapatkan posisi yang jelas
dalam implementasi program perdesaan. Padahal secara empiris, riset-riset
menunjukan bahwa faktor agama dapat menjadi pemoderasi dari pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah. Dalam konteks Indonesia, mungkin sejak sebelum Indonesia
merdeka, pesantren adalah pelopor geliat aktivitas sosial ekonomi masyarakat di
nusantara.
Dari kondisi kemiskinan yang terjadi di
wilayah perdesaan di Provinsi Lampung, pemerintah daerah hendaknya mulai
memposisikan pesantren sebagai salah satu aktor yang memainkan peran-peran
kontributif terhadap perang terhadap kemiskinan. Dengan kharakter uniknya,
dimana nilai etis menjadi pondasi gerak pesantren, pemerintah daerah dapat
mendukung fungsi pesantren sebagai institusi pendidikan yang tidak saja
mengajarkan urusan keagamaan, namun juga peningkatan skill para santri. Penguatan pendidikan vokasi dan kewirausahaan
berbasis pada keunggulan daerah dapat menjadi alternatif penciptaan sumberdaya
manusia pesantren yang mampu mengolah sumberdaya lokal menjadi produk unggulan
daerah yang lebih bernilai tambah. Para santri, umumnya, setelah selesai
mondok, tidak ikut antri mendaftar PNS sebagaimana sekolah umum. Sudah dari
dulu, setelah selesai mondok, para santri tersebut terjun langsung dalam
aktivitas sektor riil, yang sebagiannya terjun dalam wirausaha. Fungsi
pemerintah daerah, adalah memoles skill
yang dibutuhkan sesuai dengan standar-standar yang berlaku sehingga lulusan
santri tersebut memiliki bekal tambahan dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Dengan
kharakter kepeloporannya, pesantren dan santri dapat memainkan peran yang
kontributif dalam memangkas kemiskinan struktural. Tinggal bagaimana pemerintah
dapat memposisikan pesantren dalam program-program yang bersifat investasi pada
sumberdaya manusia. Kepeloporan pesantren dan santri hendaknya tidak hanya
tertulis dalam buku-buku sejarah, namun lebih memperkuat kontekstualisasi peran
kesejarahannya. Memperkuat pesantren, pada prinsipnya tidak hanya memperkuat
umat Islam, namun juga memperkuat pondasi masyarakat Indonesia. Tidaklah berlebihan
ketika Cak Nur menyebut Pondok
Pesantren sebagai lembaga yang tidak hanya identik
dengan makna keIslaman,
tetapi juga mengandung
makna keaslian (indigenous) Indonesia, mengingat aktivitasnya yang mampu
mendobrak wilayah-wilayah sunyi menjadi pusat aktivitas masyarakat.
Terakhir, pesantren dan santri sering
dipuja sebagai benteng NKRI. Namun realitasnya, kemandiriannya tidak dikokohkan
sebagaimana fungsi benteng pada umumnya. Benteng dan banteng hanya berbeda
dihuruf A, dan pahamilah pada suatu ketika benteng tersebut berubah menjadi
banteng. Itu karena kita lalai merawatnya.