Pemprov Lampung Rumuskan Tujuh Rencana Penyelesaian Konflik Manusia VS Satwa Liar
Ketujuh rencana tersebut dirumuskan pada saat Pelatihan
Adaptasi dan Mitigasi Konflik Manusia dan Satwa Liar, yang berlangsung di Balai
Pekon Sidomulyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus pada tanggal 19-21
Desember 2017, yang diikuti oleh Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Pemerintah
Kabupaten Tanggamus, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan (BBTNBBS), Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)
Kotaagung Utara, Balai Taman Nasional Way Kambas (BTNWK), TFCA Sumatera, PUNDI
Sumatera, WWF, WCS, YABI, PILI, Repong Indonesia.
Adapun rumusan tersebut yakni Pertama, Pendampingan dalam rangka penguatan Tim Satgas tingkat
desa, penerapan SOP penanganan mitigasi konflik satwa liar oleh BBTNBBS,
Pemerintah Kabupaten Tanggamus, BKSDA, KPHL Kotaagung Utara, dan para mitra; Kedua, Penjagaan Bersama secara
bergantian yang terdiri dari Tim Satgas Desa/Pekon, BBTNBBS, BKSDA, KPHL
Kotaagung Utara, Pemerintah Kabupaten Tanggamus, dan para mitra.
Ketiga,
Pembentukan Forum Tim Satgas Tingkat Kecamatan Semaka, dan dilakukan pertemuan
rutin setiap empat bulan sekali; Keempat,
Penyusunan Rencana Aksi Bersama dimasukkan dalam RPJMDesa di tingkat Kecamatan
dihadiri oleh seluruh Kepala Pekon, Tim Satgas Desa, BBTNBBS, Dinas Kehutanan
Provinsi Lampung (KPHL Kotaagung Utara), BKSDA, dan para mitra.
Kelima,
Membangun komunikasi dan koordinasi dengan pihak penggarap lahan kawasan Hutan
Lindung Register 31 guna menyepakati jalan keluar terhadap permasalahan
penggarapan lahan kawasan Hutan Lindung secara illegal, dan pemukiman dalam
kawasan Hutan Lindung;
Keenam,
Mendorong terbentuknya Tim Khusus di TNBBS untuk pembentukan gajah patroli,
guna penanganan satwa liar gajah, seperti Tim ERU TNWK, dengan dipersiapkan
segala sesuatunya dan Ketujuh, Sumber
dana untuk menindaklanjuti penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar
berasal dari APBN, APBD, dan APBD desa.
Agus Wahyudiyono, Kepala Balai Besar Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan mengatakan konflik manusia dan gajah di Kecamatan Semaka
terjadi sejak Juni 2017 dan
mengakibatkan beberapa pekon di Kecamatan Semaka yakni Pardawaras, Srikaton,
Karang Agung, Sidomulyo, sampai Tulung Asahan ikut terkena dampak akibat
konflik ini.
“Rata-rata lahan yang rusak terhitung mencapai 100
hektar, baik dari kebun pisang, papaya, kelapa, nangka, cempedak, dan padi.
Tercatat sedikitnya 20 kejadian konflik dalam rentang waktu tiga bulan
terakhir,” ujar Agus.
Secara historis, Agus mengungkapkan hampir selama 10
tahun terakhir, peristiwa keluarnya gajah
dari wilayah habitatnya yaitu hutan lindung dan TNBBS merupakan peristiwa yang
jarang terjadi di Kecamatan Semaka.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab antara lain
waktu napak tilas, kelangkaan makanan akibat perubahan habitat, dan perubahan
perilaku pakan menjadi kemungkinan penyebab populasi gajah keluar dari
habitatnya dan memakan tanaman di kebun masyarakat (pisang, pepaya, pinang,
padi darat, dll).
Untuk itu, ia mengatakan perlu dilakukan pendekatan
dari berbagai dimensi (multidimension
approach) dan dilakukan dengan sinergi oleh berbagai pemangku kepentingan (multistakeholder apporach).
“Pendekatan dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial harus
disinergikan, sehingga upaya mitigasi konflik dapat dilakukan secara optimal
dan berkesinambungan. Koordinasi antar sektor perlu segera dilaksanakan
sehingga reaksi tanggap terhadap konflik dapat dilakukan dengan cepat,” ujar
Agus.
Kasus konflik antara manusia dan gajah sudah terjadi
sejak lama dan ditengarai akan terus berlangsung sejalan dengan dinamika sosial
dan kondisi kawasan. Hal ini tidak dapat dihindari dan sebaiknya konflik ini
dikelola dengan baik, ungkap Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Syaiful
Bachri, yang diwakili oleh Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan,
Wiyogo Supriyanto.
Pelatihan mitigasi konflik manusia dan gajah sumatera
di tingkat tapak mutlak diperlukan dan harus dilakukan, sebagai bagian dari
proses penguatan kapasitas teknis lapang, karena tanpa adanya kemampuan untuk
melakukan mitigasi dan mengurangi dampaknya maka konflik akan menimbulkan
dampak kerugian yang besar bagi masyarakat.
“Kegiatan ini merupakan upaya semua pihak untuk
mengendalikan dan mengatasi terjadinya gangguan satwa liar, sehingga
kehidupannya tetap berlangsung dengan baik dengan tidak saling mengganggu.
Kelestarian sumberdaya alam dan satwa liar terjaga, menuju Lampung Maju dan Sejahtera,
“ tutup Wiyogo.(H-Prov)