Sekretaris PWI Lampung Timur Nilai Hoax Marak Akibat Rendahnya Literasi Masyarakat Terhadap Informasi
KATALAMPUNG.COM -
Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Lampung Timur Musannif
Effendi Y., S.H., M.H., menilai bahwa "hoax"
atau berita bohong menjadi marak akibat rendahnya literasi masyarakat terhadap
informasi yang tersaji di media maupun media sosial.
Rendahnya literasi
masyarakat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya kecenderungan hanya membaca
judul tanpa melihat, apalagi memahami isi berita.
Dalam statistik sebuah
lembaga, hampir 40 persen konten di medsos tidak pernah dibuka. Padahal,
sebagian konten "hoax" itu
judulnya pasti bombastis, sedangkan isinya tidak ada apa-apanya. Fakta inilah
yang menjadi salah satu cikal bakal hoax.
Hal itu disampaikan oleh
Musannif Effendi atau yang akrab disapa Fendi saat menyikapi Deklarasi Anti Hoax dan Anti Ujaran Kebencian yang dilaksanakan oleh Polres Lampung Timur di halaman Mapolres,
Selasa, 13 Maret 2018.
Kepada para awak media, Musannif
Effendi yang mewakili PWI Lampung Timur mengatakan, pers di Indonesia sudah
relatif bebas. Salah satunya dilihat dari tumbuhnya kuantitas media karena
kemudahan untuk mendirikannya.
Menurut catatan Dewan
Pers, dari total 47 ribu media di Tanah Air, sebanyak 2.000 merupakan media
cetak, 1.500 radio dan TV serta 43.500 media online.
Meski mudah dan dijamin
oleh demokrasi, pers hendaknya tetap bertanggung jawab dan netral. Pers
hendaknya juga menyalurkan suatu kebenaran karena itu masyarakat juga hendaknya
mampu memilah berita-berita yang tersebar luas untuk menghindari kabar hoax
yang kerap muncul di zaman ini.
Ia melanjutkan, pada masa
Orde Baru, pers dinilai sebagai kebenaran di samping pemerintah yang otoriter
dan membatasi seluruh aktivitas dari pers sendiri. Masyarakat mau tidak mau
harus menerima berita yang disuarakan oleh pers.
Namun, menurutnya, dengan
kebebasan pers, batasan tersebut semakin hilang dan hal ini menyebabkan pers
sangat rawan disalahgunakan. Terlebih lagi budaya masyarakat Indonesia yang
mudah percaya akibat kurangnya penelaahan berita yang diperburuk oleh zaman
Orde Baru.
"Dengan makin
mudahnya akses informasi dan masyarakat mampu menjadi penyebar informasi.
Terkesan bahwa pers tidak ada batasannya. Pemerintah hendaknya juga tegas
terhadap pers yang terindikasi disalahgunakan. Pers harus memiliki karakter
dengan membuat berita fakta bukan opini, dengan pers yang bertanggung jawab dan
budaya gemar membaca, berita hoax dapat diminimalkan di samping berjayanya
kebebasan pers di Indonesia," papar fendi.
Pelaku penyebar hoax bisa
terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau
Undang-Undang ITE. Di dalam pasal itu disebutkan, "Setiap orang yang
dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan,
ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1
miliar.”
"Jadi mulai sekarang
setiap orang harus berhati-hati dalam menyebarkan pesan berantai lewat
perangkat elektronik. Sekarang banyak pesan pendek (SMS), maupun e-mail hoax
yang berseliweran. Yang mem-forward,
disadari atau tidak, juga bisa kena karena dianggap turut mendistribusikan
kabar bohong," jelasnya.
Apabila masyarakat
mendapat pesan berantai yang hoax, agar tak sembarang menyebarkannya.
"Laporkan saja kepada polisi, pesan hoax harus dilaporkan ke pihak
berwajib karena sudah masuk delik hukum. Setelah laporan diproses oleh pihak
kepolisian, baru kemudian polisi bisa melakukan penyidikan dengan bekerja sama
bersama dengan dinas Komunikasi dan Informatika, dan segenap operator
telekomunikasi," tambahnya.
Dilaporkan
Oleh: Jhoni Saputra