Terungkap, Berikut Fenomena Perberasan Indonesia Yang Mengkhawatirkan

JAKARTA, KATALAMPUNG.COM – Guru Besar Universitas Lampung yang juga Ekonom INDEF Bustanul Arifin mengungkapkan terdapat empat fenomena menarik atau masalah serius kondisi perberasan di Indonesia saat ini.

Terungkap, Berikut Fenomena Perberasan Indonesia Yang Mengkhawatirkan
Foto: Ilustrasi

“Pada saat Rapat Kerja Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dengan Direkur Utama Bulog tanggal 15 Maret 2018 pekan lalu, terungkap beberapa fakta terakhir yang cukup mengkhawatirkan,” ujarnya pada saat Pidato Peradaban “Perberasan Nasional: Upaya Mencari Solusi Integeratif” di acara Peradaban Perberasan Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2018.

Baca Juga: Kaum Muda Pedesaan Lebih Suka Jadi Tim Sukses Pilkada Dibanding Jadi Buruh Tani

Pertama, stok beras Bulog saat ini hanya tinggal 650.000 ton, suatu rekor terburuk yang belum terjadi sebelumnya, apalagi pada bulan Maret, menjelang musim panen raya. Cadangan Beras Pemerintah (CBP), suatu stok besi yang harus ada (iron stock), yang dititipkan Pemerintah di Gudang Bulog sekarang sudah berada pada posisi minus 27.888 ton.

“Seandainya Indonesia mendapat serangan bencana atau serangan militer, maka sistem pertahanan logistik bangsa Indonesia benar-benar berada di ujung tanduk. Masyarakat menyaksikan banyak sermoni panen raya di mana-mana. Tapi, dibawa ke manakah gabah atau beras hasil panen raya tersebut?,” sergahnya.

Kedua, usulan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras, sampai sekarang belum memperoleh respons yang memadai. Harga gabah petani hanya dihargai Rp 3.700 per kilogram sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 (Inpres 5/2015), jauh sekali dari biaya produksi yang telah melebihi Rp4.000 per kilogram.

“Jika petani harus menghasilkan beras sendiri, Pemerintah hanya menghargai Rp 7.300 per kilogram, jauh lebih rendah dari harga eceran yang berlaku di pasaran yang telah melampaui Rp 10.000 per kilogram untuk jenis beras medium,” katanya.

Menurutnya, upaya Pemerintah untuk memberikan toleransi fleksibilias harga sebesar 20 persen di atas HPP, ternyata belum berdampak banyak terhadap kinerja penyerapan gabah dan beras oleh Bulog, walaupun telah melibatkan militer untuk melakukan serap gabah (sergab) tersebut.

“Peradaban seperti apakah yang sedang kita mainkan sekarang ini?,” tanya Bustanul

Ketiga, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah belum dapat ditegakkan secara baik, sekadar tidak mengatakan hanya berlaku untuk satu-dua perusahaan tertentu. Hampir semua pedagang kini menjual berasnya di atas HET dan tidak ada penegakan hukum yang memadai.

Bustanul menilai kebijakan yang diambil Pemerintah terlalu berlebihan, seakan mau mengatur atau mengawasi setiap aktivitas masyarakat atau, apakah terdapat keraguan atau ketidakpahaman aparat penegak hukum tentang fenomena ekonomi yang berkembang cepat akhir-akhir ini?

Keempat, banyak politisi dan masyarakat awam terlalu sering meributkan jika terdapat berita di media massa bahwa Indonesia mengimpor beras. Impor beras sering dianggap aib atau signal kegagalan politik. Bahkan, tidak berlebihan jika masyarakat menyimpulkan bahwa pemimpin politik di Indonesia jatuh karena beras. Di lain pihak, tidak banyak yang menyadari bahwa selama lebih dari tiga tahun terakhir, Indonesia telah mengimpor beras sekitar 3 juta ton setara Rp 17 triliun lebih.

Menurutnya, impor beras yang masih jauh di bawah 2 persen ini seakan menjadi sandra bagi para politisi dan pemimpinn politik Indonesia. Para ilmuwan politik berargumen bahwa sejarah politik Indonesia yang pro-petani kecil dan kental dengan sejarah ekonomi nasionalis seakan menjadi konstrain tersendiri bagi politisi untuk senantiasa mengurangi impor atau menetapkan target swasembada beras, agar terlihat lebih populis.

“Empat fenomena di atas mungkin sering kita dengar atau kita baca di media massa, walau dengan struktur kalimat atau redaksi yang berbeda. Kami di dunia ekonomi pertanian hampir setiap hari bergelut dengan persoalan sejenis dengan kadar dan magnitude yang cukup beragam,” terangnya.

Bustanul menambahkan, beras telah mengambil sebagian porsi perhatian dari masyarakat Indonesia, apalagi para politisi dan pemimpin politik. Beras telah menjadi bagian dari peradaban dan sejarah Indonesia modern. “Mungkin masih ada yang tidak terlalu rela dan terus mempertanyakan mengapa beras memiliki posisi yang demikian istimewa dari sistem ekonomi dan politik Indonesia.”

“Banyak akademisi yang berusaha menjawabnya, tapi banyak juga yang menerima kenyataan tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan peradaban bangsa Indonesia dan sekian bangsa-bangsa lain lagi di Asia, Afrika, bahkan kini telah merambah Amerika, Eropa dan tentu Australia sebagai tentangga sebelah rumah, dengan pasang-surut hubungan yang menyertainya,” kata Bustanul.

Ia menerangkan, setiap tahun dan setiap babak dari sistem pemerintahan, cerita seputar perberasan sering berbeda. Perhatian masyarakat pun sering berbeda pula.

Musim panen raya beras umumnya terjadi pada bulan Maret-April, sehingga harga gabah di tingkat petani dan harga beras di pasaran relatif rendah. Kemudian neraca keseimbangan beras mulai menipis pada puncak musim kemarau, atau pada bulan Juli-Agustus dan menyebabkan harga beras naik secara perlahan tapi pasti.

Baca Juga: Ini Solusi Integeratif Perberasan Nasional Menurut Prof Bustanul Arifin

Indonesia kembali menikmati panen gadu pada bulan September-Oktober sehingga harga beras kembali stabil. Panen musim gadu cukup kecil, hanya sekitar 35 persen dari volume beras setiap tahunnya, jauh lebih rendah dari panen musim rending yang mencapai 65 persen dari total suplai beras di Indonesia.

“Para ekonom pertanian dan pejabat Pemerintah yang menangani perberasan seharusnya sudah amat paham tentang siklus suplai dan siklus harga tahunan tersebut. Pola laju inflasi tahunan sering sekali paralel atau mengikuti pola perkembagan harga tersebut,” ucap Bustanul Arifin.

Editor: Guntur Subing
Diberdayakan oleh Blogger.