Dedi Mulyadi Nilai Berakhirnya Tren Politik Citra Menuju Politik Gerilya Teritorial
Dedi Mulyadi, salah satu kandidat wakil di Pilgub Jabar yang didukung Partai Golkar dan Demokrat saat mencoblos di TPS kampung halamannya, Rabu (27/6/2018) (Sumber: KOMPAS. com/IRWAN NUGRAHA) |
KATALAMPUNG.COM -
Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, menyebutkan fenomena baru
muncul di pemilihan gubernur Jawa Barat tahun ini. Yakni, berakhirnya tren
politik citra di kalangan masyarakat yang ampuh selama beberapa dekade dan
beralih kepada politik gerilya teritorial langsung ke masyarakat. Politik
gerilya teritorial sendiri adalah pemakaian jaringan darat yang mengakar dan
mampu mendapatkan suara lebih banyak.
“Di Pilgub Jabar ini,
survei banyak yang meleset. Analisis pakar banyak yang meleset. Artinya, ada
perubahan fenomena, politik citra berubah menjadi politik gerilya teritorial.
Ini harus diwaspadai Partai Golkar di Pilpres 2019, termasuk partai lain
pengusung Pak Jokowi,” jelasnya, Sabtu (30/6/2018).
Selama ini, posisi Jawa
Barat selalu menjadi magnet dan percontohan bagi pelaksanaan pemilihan presiden
yang akan dilaksanakan setahun lagi. Apalagi daerah ini memiliki jumlah pemilih
paling besar dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Jumlah pemilih sebesar ini
tentu saja menjadi incaran para calon presiden di Tahun 2019. Semua calon
presiden dipastikan ingin menjadikan Jawa Barat sebagai basis pemilihnya demi
insentif elektoral. Sesuai dengan pengalamannya selama mengikuti Pilgub Jabar
kemarin.
Pada survei sebelum hari
pencoblosan, pasangan Rindu diprediksi akan bersaing ketat dengan pasangan Duo
DM. Akan tetapi, prediksi tersebut jauh dari kenyatannya. Pasangan
Sudrajat-Syaikhu menyalip perolehan suara Duo DM.
“Anda bayangkan, mohon
maaf, elektabilitas di awal rendah, lalu naik ke 10 persen. Kemudian, loncat ke
15 persen sampai akhirnya 28 persen saat pemilihan. Ini bukti tren citra yang
kemudian beralih ke gerilya teritorial,” kata Dedi.
Terhadap fenomena tersebut
Dedi menyebutkan bahwa terdapat gelombang peralihan pilihan politik seminggu
jelang pemilihan berlangsung Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.
“Artinya, ada pergerakan
besar dengan strategi yang ampuh, menyasar teritorial dengan cara bergerilya.
Sehingga, akibatnya mengubah konstelasi Pilgub Jabar,” sebutnya.
Gelombang peralihan
dukungan itulah yang mengakibatkan ceruk suara Duo DM tergerus sampai hari
pencoblosan. Karakteristik pemilih Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi memang
berbeda. Dedi mengatakan, Deddy Mizwar memiliki basis pemilih yang banyak
beririsan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pasalnya Deddy didukung
oleh partai berbasis pemilih Islam itu saat berpasangan dengan Ahmad Heryawan
di Pilgub 2013. Awalnya PKS sendiri pernah mewacanakan untuk mendukung Deddy
Mizwar dengan Ahmad Syaikhu untuk Pilkada Jabar tersebut.
Sementara itu lanjut Dedi,
dirinya memiliki basis pemilih tradisional yang kuat. Pemilih tersebut telah
terpapar sosialisasi kemajuan Purwakarta. Hal itu dibuktikan dengan dominasi
Dedi Mulyadi di Purwakarta, Subang dan Karawang. Selain itu, pinggiran
Kabupaten dan Kota Bekasi pun menjadi basis pria yang lekat dengan iket Sunda
makutawangsa itu.
“Ada kutub pemilih yang
berbeda antara saya dengan Pak Demiz. Pemilih Pak Demiz banyak beririsan dengan
PKS. Juga terkait partai pengusung Pak Demiz, mungkin belum sejalan dengan
konstelasi Pilpres 2019. Sehingga, basis elektoral ini yang mengalihkan
dukungan,” katanya.
Manuver SBY Suara
pengalihan dukungan tersebut menurut Dedi terjadi di Debat Publik II Pilgub
Jabar di Depok Jawa Barat. Saat itu, pasangan Sudrajat-Syaikhu memperlihatkan
kaus bertuliskan #2019GantiPresiden.
Kondisi itu sebut dia,
semakin diperparah dengan manuver Ketua Umum Partai Demokrat Soesilo Bambang
Yudhoyono. Dalam konferensi pers di Kota Bogor, SBY menyebut bahwa Pj Gubernur
Jawa Barat M Iriawan menggeledah rumah dinas wakil gubernur.
“Dalam posisi ini, kami
paling dirugikan. Suara kami tergerus hingga 15 persen,” ucapnya.
Di Pilpres 2019 mendatang,
Partai Golkar tempat Dedi Mulyadi berkiprah, mengusung Joko Widodo. Perbedaan
ceruk suara inilah yang mengakibatkan basis elektoral pasangan Duo DM tidak
solid. Meski begitu, Dedi mengaku bahagia. Sebab, di tengah gelombang isu yang
menyerang, basis tradisional miliknya tetap terjaga dengan baik.
“Saya bahagia karena basis
saya tidak hancur. Kalau dulu suara saya 15 persen, sekarang ada di angka 25
persen. Di Pilgub Jabar ini sekaligus menjadi alat ukur bagi peta kekuatan kami
menyongsong Pilpres 2019,” tuturnya.
Artikel
ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dedi Mulyadi Sebut Pilkada Jabar Akhiri Sukses Politik Citra"
Penulis
: Kontributor Tasikmalaya, Irwan Nugraha
Editor
: Erlangga Djumena