Soeharto dan Ketahanan Pangan Nasional
Pernyataan itu dikemukakan
puteri pertama Pak Harto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dalam buku “Soeharto: Ketahanan Pangan dalam Pembangunan
Nasional” yang peluncurannya dilakukan di Gedung Dewan Pers Jakarta, Kamis
(6/9).
Buku yang diterbitkan oleh
Yayasan Harapan Kita itu ditulis oleh wartawan senior Koos Arumdanie. Sang
penulis adalah seorang jurnalis yang telah mengikuti dari dekat dinamika
pemerintahan di Istana Negara sejak masa Presiden Soekarno hingga Presiden
Soeharto.
Berbekal catatan-catatan
semasa aktif meliput kegiatan kepresidenan itu pula, Ketua Pewaris (Persatuan
Wartawan Istana) itu mengungkap lebih rinci apa itu ketahanan pangan dalam
hubungannya dengan pembangunan nasional di era Orde Baru.
Dalam buku tersebut Mbak
Tutut lebih lanjut menceritakan, sejak berhenti dari jabatan Presiden RI ke-2,
Pak Harto yang saat itu sedang terkena stroke dikunjungi Hioe Husni
Wijaya, teman memancingnya.
Pak Harto pun bertanya,
“sekarang harga beras berapa?” Dijawab Hioe:”Enam ribu dua ratus,
Pak.” Pak Harto menimpali: ”Mahal ya… kasihan rakyat.” Raut mukanya
tampak murung.
“Itu beras dari mana,
dalam negeri apa impor?” Lagi Pak Harto bertanya. Hioe menjawab bahwa
beras itu menurut pemberitaan berasal dari Vietnam. Pak Harto semakin masygul.
”Berarti swasembada saya gagal,” katanya.
Dibagi dalam sepuluh bab,
buku setebal 258 halaman itu secara lengkap menghadirkan sejumlah data dan
informasi yang menarik tentang latar belakang Pak Harto memilih ketahanan
pangan sebagai basis pembangunan nasional, termasuk bagaimana peran Bulog dan
Koperasi maupun inovasi teknologi yang diadopsi Pemerintah Orde Baru.
Kegigihan Presiden
Soeharto mewujudkan ketahanan pangan membuahkan hasil yang pencapaiannya diakui
badan pangan dunia (FAO). Lembaga dunia itu pada Juli 1986 menganugerahi medali
emas kepada Presiden Soeharto yang bertuliskan “From Rice Importer to
Self-Sufficiency”.
Medali tersebut khusus
diberikan kepada kepala negara di dunia yang berhasil dalam pembangunan
pertanian, khususnya dalam mencapai swasembada pangan.
FAO menggunakan istilah “Food Security” untuk menjelaskan tentang
ketahanan pangan. Dengan definisi ini maka ketahanan pangan diposisikan sebagai
tolok ukur terhadap kekuatan gangguan pangan di masa depan atau terhadap
ketiadaan suplai pangan akibat berbagai faktor seperti kekeringan, instabilitas
ekonomi, gangguan transportasi angkutannya hingga terjadinya konflik atau
peperangan.
Secara umum kebijakan
Presiden Soeharto sebagaimana tercermin dalam program pembangunan nasional
dengan jelas mengupayakan stabilitas pangan, khususnya beras yang diindikasikan
dengan kemampuan menjamin harga dasar dan harga tertinggi yang ditetapkan
melalui pengadaan pangan nasional.
Selain itu, membangun
pertanian nasional yang kuat menjadi keputusan politik yang dibuktikannya
dengan menyediakan anggaran pembangunan bagi sektor pertanian dan irigasi
selama bertahun-tahun dalam jumlah besar.
Puncaknya terjadi ketika
Presiden Soeharto mengesahkan Undang-Undang RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan
yang menempatkan ketahanan pangan sebagai titik sentral kebijakan pembangunan
bangsa.(rls)