Tanggapan PPWI Nasional atas Pernyataan Dewan Pers terkait Wartawan Akan Disertifikasi BNSP
KATALAMPUNG.COM – Melalui Press
Releasenya, PPWI Nasional menyatakan poin utama perjuangan Persatuan Pewarta
Warga Indonesia (PPWI) bersama Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI)
menggungat Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dewan Pers di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat adalah terkait kewajiban mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Persidangan atas gugatan
PMH itu telah berlangsung sejak Mei 2018 lalu dan masih berlangsung hingga saat
ini. Rabu, 30 Januari 2019, akan berlangsung sidang ke-27 dengan materi
mendengarkan kesimpulan dari penggugat PPWI dan SPRI atas hasil 26 kali
persidangan yang telah berlalu.
Berdasarkan fakta
lapangan, PPWI meyakini bahwa UKW telah menjadi pemicu persoalan pers Indonesia
secara sistematis, terstruktur, dan massif. UKW telah menimbulkan dampak ikutan
yang fatal, yakni terkerangkengnya kemerdekaan pers dalam sekat-sekat birokrasi
yang menimbulkan ekses tersumbatnya kanal-kanal penyampaian informasi dari
masyarakat kepada publik maupun berbagai pihak berkepentingan dan aparat
berwenang. UKW telah menjadi penghambat terjalinnya sinergitas dan koordinasi
serta silahturahmi yang harmonis antara pelaku media dengan berbagai elemen
publik. UKW juga telah menyebabkan kemacetan dalam proses kontrol sosial dan
kebijakan publik yang menjadi tugas dan fungsi pers di negara demokrasi ini.
Lebih jauh, UKW bahkan
telah menihilkan potensi dan talenta jutaan warga yang memiliki kemampuan
berjurnalis yang sangat mumpuni, yang didapatkan dari bangku kuliah dan
pengalaman panjang sebagai jurnalis berbagai jaman. UKW juga telah melahirkan
para “terpidana kriminalisasi wartawan” di berbagai daerah di Indonesia. Bukan
hanya itu, UKW secara langsung maupun tidak langsung, telah membunuh wartawan
Kota Baru, Kalimantan Selatan, Muhammad Yusuf, 10 Juni 2018 lalu, hanya karena
rekomendasi Dewan Pers yang menyatakan Muhammad Yusuf bukan wartawan tersebab
almarhum belum mengikuti UKW.
Di tataran teknis, oleh
Dewan Pers UKW melahirkan puluhan, bahkan mungkin ratusan, rekomendasi yang
pada intinya menghambat kerja-kerja pers. UKW melahirkan diksriminasi yang
memecah-belah pekerja jurnalistik. Melalui rekomendasi yang diterbitkannya,
Dewan Pers dapat dengan sewenang-wenang menuduh seseorang sebagai ‘wartawan’
atau ‘bukan wartawan’ hanya berdasarkan ukuran ‘telah mengikuti UKW’ atau
‘belum mengikuti UKW’. Melalui rekomendasinya pula, Dewan Pers dengan leluasa,
didukung oleh MoU kong-kali-kong dengan institusi Polri, dapat menjustifikasi
seseorang untuk diadili berdasarkan aturan KUHP atau UU Nomor. 40 tahun 1999,
hanya dengan standar ‘yang bersangkutan telah ber-UKW’ atau ‘yang bersangkutan
belum ber-UKW’.
Di tataran perundangan,
UKW adalah sebuah akal-akalan Dewan Pers bersama beberapa organisasi pers
konstituennya yang bertentangan dengan peraturan hukum yang ada. Kewajiban
ber-UKW tidak diatur samasekali di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers. Sesuai Pasal 15 UU Pers itu, tidak ada satu ayatpun yang
memberikan kewenangan kepada lembaga ini untuk membuat dan/atau
menyelenggarakan uji kompetensi bagi wartawan. Sebaliknya, segala hal yang
terkait dengan keahlian (kompetensi) diatur negara melalui Undang-Undang No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, Dewan Pers secara sangat
meyakinkan telah melakukan pelanggaran hukum, mengeluarkan kebijakan melampaui
kewenangan yang diberikan Undang-Undang.
“Itulah inti terpenting
dari Gugatan PMH Penggugat PPWI dan SPRI terhadap Tergugat Dewan Pers,” tulis Press
Release PPWI Nasional, Jakarta, Ahad, 27 Januari 2019.
Sehubungan dengan
sinyalemen terbaru, bahwa wartawan bakal dapat sertifikasi BNSP sebagaimana
dilansir oleh media online Tempo.Co tertanggal 25 Januari 2019, PPWI menilai
bahwa perkembangan ini cukup baik ke masa depan. Informasi lengkapnya di sini:
https://bisnis.tempo.co/read/1168917/wartawan-bakal-dapat-sertifikasi-bnsp-ini-kata-dewan-pers/full&view=ok
Menyikapi perkembangan
tersebut di atas, dan dikaitkan dengan hal-hal yang menjadi poin perjuangan
wartawan seluruh Indonesia selama ini, PPWI Nasional berkesimpaulan dan
memberikan pernyataan sebagai berikut:
Pertama, UKW
Dewan Pers itu illegal alias haram secara hukum, karena bertentangan atau
melawan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu,
sertifikat UKW tidak boleh digunakan dan harus ditarik oleh lembaga yang
mengeluarkannya. Dewan Pers harus bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat
haram tersebut, termasuk mengembalikan dana penyelenggaraan UKW yang sudah
dikeluarkan oleh peserta sertifikasi illegal tersebut.
Kedua, Pihak-pihak
yang menggunakan sertifikat UKW sebagai acuan dalam aktivitas kegiatan resmi di
lapangan merupakan penjahat jurnalistik, pengguna (penadah) barang haram.
Selain wartawan lulusan UKW, pihak Pemda maupun swasta yang selama ini
mempersyaratkan setiap calon mitra publikasi di unit-unit kerja di lingkungan
instansi setempat, mereka termasuk dalam kategori pengguna barang ilegal, haram
secara hukum, dan bisa dilaporkan ke polisi atas dugaan pelanggaran pasal 18
ayat (1) UU No. 40 tahun 1999, dan UU Ketenagakerjaan, serta PP No. 10 tahun
2018 junto PP No. 23 tahun 2004.
Ketiga, Kepada
seluruh wartawan Indonesia, kami himbau untuk segera melakukan gerakan class
action menggungat secara hukum dan meminta pertanggungjawaban Dewan Pers atas
kebijakan UKW yang bertentangan dengan UU selama ini. Kebijakan tersebut tidak
hanya merugikan para wartawan lulusan UKW abal-abal, ilegal dan haram secara
hukum nasional Indonesia, namun lebih daripada itu, kebijakan tersebut telah
merusak tatanan hukum dan peraturan di negeri ini. Kebijakan Dewan Pers terkait
UKW dan diikuti sejumlah rekomendasi yang menghambat kerja-kerja para wartawan
non-UKW, bahkan telah memakan korban kriminalisasi wartawan di mana-mana, dan
lebih parah lagi telah merenggut nyawa wartawan Kota Baru, Kalsel, Muhammad
Yusuf, adalah sebuah perilaku inkonstitusional Dewan Pers yang mesti diminta
pertanggungjawabannya, baik secara moral, administratif, maupun secara hukum
positif.
Keempat, Kepada
pengurus Dewan Pers, PPWI mendesak supaya Anda meletakan jabatan segera, dan
laporkan diri ke pihak berwajib untuk menunjukkan pertanggungjawaban hukum Anda
semua atas segala kebijakan yang telah merugikan wartawan dan masyarakat
Indonesia selama ini. Selayaknya sebagai warga negara yang baik, seluruh
anggota Dewan Pers perlu memberikan contoh yang baik dengan sikap dan perilaku
taat azas dan taat hukum.
Kelima, Kepada
semua Kementerian/Lembaga (K/L) dan institusi pemerintahan (pusat dan daerah) maupun
swasta, lembaga pers dan non-pers, serta masyarakat umum di seluruh Indonesia,
PPWI menyampaikan bahwa Dewan Pers telah melakukan tindakan mal-praktek
birokrasi terkait UKW dan penerbitan rekomendasi-rekomendasi selama ini. Oleh
karena itu, PPWI dengan ini menyatakan MOSI TIDAK PERCAYA KEPADA LEMBAGA DEWAN
PERS. Kepada semua K/L dan institusi pemerintahan maupun swasta, lembaga pers
dan non-pers, serta masyarakat umum di seluruh Indonesia kami himbau untuk
tidak mengakui, tidak menggunakan dan/atau tidak menjadikan persyaratan, semua
bentuk sertifikat UKW illegal, haram secara hukum, yang dikeluarkan Dewan Pers
bersama lembaga-lembaga penyelenggara UKW-nya selama ini.
Keenam, Kepada
Presiden Republik Indonesia, baik periode saat ini, maupun Presiden terpilih
melalui Pilpres 17 April 2019 mendatang, PPWI mendesak untuk membekukan
kepengurusan Dewan Pers periode 2016-2019 ini, dan tidak menerbitkan Kepres
baru tentang Kepengurusan Dewan Pers periode 2019-2022, sebelum dilakukannya
penataan dan perbaikan kembali sistim jurnalisme di negara ini.
Ketujuh, Kepada
lembaga legislatif (DPR/DPD RI), PPWI mengharapkan agar para anggota legislatif
dapat memberikan perhatian serius terhadap masalah yang amat krusial ini.
Sebagai Ketua Pelaksana Musyawarah Besar Pers Indonesia, 18 Desember 2018 lalu,
atas nama lebih dari 2000 wartawan dan pewarta warga peserta Mubes yang dating
dari seluruh nusantara, Ketua Umum PPWI menghimbau agar lembaga DPR RI dapat
menginisiasi atau memfasilitasi penyusunan RUU tentang Jurnalisme Indonesia,
baik melalui amandemen UU No. 40 tahun 1999 maupun pembuatan UU yang baru.(***)