Aliansi Mahasiswa Lampung Ajukan 14 Tuntutan
KATALAMPUNG.COM - Ribuan mahasiswa
Lampung bersama elemen masyarakat yang menamakan diri Aliansi Lampung Untuk
Indonesia (ALUI) melakukan aksi di Lapangan Korpri, Komplek Kantor DPRD dan
Gubernur Lampung, Selasa, 24 September 2019.
Aksi mahasiswa yang
berasal dari perguruan tinggi di Lampung ini merupakan bagian dari aksi
mahasiswa serentak secara nasional. Dalam tuntutannya mereka monolak RKUHP,
Revisi UU KPK, RUU pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Total, 14 tuntutan yang
mereka ajukan.
Koordinator utama dari Aliansi
Lampung Untuk Indonesia Kristin mengatakan, Hari Tani Nasional yang diperingati
pada tanggal 24 September 2019, merupakan peringatan bagi seluruh rakyat tertindas
di seluruh Indonesia. 59 tahun lalu merupakan sejarah paling penting dalam
menetapkan kebijakan Undang-undang Nomor 05 tahun 1960 atau yang lebih dikenal
dengan sebagai UUPA 1960. "Hal ini, lahir sebagai upaya merestrukturisasi
ketimpangan lahan yang dikuasai oleh segelintir orang atau kolonialis pada
waktu itu," ujar Kristin dalam orasinya di depan Gedung DPRD Provinsi Lampung.
Selain itu, struktur
agraria warisan feodalisme dan kolonialisme di masa-masa awal revolusi kemerdekaan
yang masih menjadi problem pokok adalah dibelenggunya kaum Tani terhadap
penguasaan tanah yang didominasi oleh kaum feodal dan perusahaan-perusahaan
kapitalis pekebunan.
"Pemerintah era
Soekarno berupaya merombak struktur lahan melalui kebijakan yang dikeluarkan
yakni UUPA 1960 tersebut. Sejak kelahirannya UUPA 1960 dengan jelas bahwa
cita-cita yang melandasi ini tidak lain untuk menciptakan pemerataan struktur
penguasaan tanah yang diyakini akan mengangkat harkat penghidupan kaum tani dan
untuk menciptakan kemakmuran bersama kaum tani Indonesia, yaitu dengan
menjalankan Land Reform (Pembaharuan
Agraria)," paparnya.
Menurut Kristin, tanah
tidak boleh lagi dikuasai secara luas oleh sekelompok kecil orang atau
korporasi, dalam hal ini kaum feodal dan kapitalis, tapi harus dibagikan secara
merata kepada kaum tani yang nyata-nyata membutuhkan dan bekerja di atas tanah.
Lanjutnya, UUPA 1960 belum
dijalankan secara penuh dan seksama bagi pemerintah pada waktu itu, sebab telah
terjadi peralihan kekuasaan politik dari Presiden Soekarno ke Soeharto. "Sejalan
dengan pergantian pemerintahan, maka oleh Rezim Soeharto, program pembaharuan
agraria (Land Reform).
Serikat-serikat tani dibatasi ruang geraknya," ucapnya
Ia menambahkan, September
2019 merupakan bulan yang kelam juga gelap dirasakan hampir oleh seluruh rakyat
Indonesia. Hal itu dikarenakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat
ini tidak mencerminkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi."Masih terang dalam
ingatan pada tanggal 5 September yang lalu dengan mudahnya komisi III DPR RI
memuluskan Revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan telah
disahkan pada 17 September."
Kemudian, lanjutnya lagi,
hal tersebut menjadi tamparan telak bagi penegakan hukum di Indonesia karena
Revisi UU KPK tersebut justru melemahkan KPK dalam menjalankan tugas dan
fungsinya dalam pemberantasan korupsi.
"Hal tersebut menjadi
paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas korupsi,
kolusi dan nepotisme. Selain itu, supremasi hukum sebagai salah satu agenda
reformasi juga menemui jalan buntu," ungkapnya.
Banyaknya pasal yang
mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan
pertimbangan bagi legislatif. Pasal-pasal ini meliputi aturan mengenai makar,
kehormatan presiden, tindah pidana korupsi (Tipikor), hukum yang hidup di
masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. "Tidak
berhenti sampai sana, saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan
perundang-undangan yang terkesan hadir sebagai sebagai formalitas penyelesaian
tugas legislatif."
Hadirnya RUU pertanahan
dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan dipaksakan. Di
lain sisi, kebebasan demokrasi juga semakin diberangus melalui RKUHP dan juga
praktek-praktek kriminalisasi aktivis di berbagai sektor.
"RUU pertanahan
justru berpotensi menambah penderitaan rakyat seperti kriminalisasi terhadap
pemilik tanah yang melawan dalam penggusuran, menegaskan kembali Domein Verklaring melalui status tanah
Negara, yang dahulu digunakan pemerintah kolonial untuk merampas tanah-tanah
masyarakat, serta mempersulit masyarakat hukum adat," ucapnya.
Praktek era kolonial bisa
segera bangkit yang dilakukan oleh rezim Jokowi. Pengaturan hak pengelola telah
memberikan kewenangan yang sangat luas dan kuat bagi pihak-pihak tertentu
(pemerintah-pemerintah daerah, BUMN, Bank Tanah) untuk tidak sekedar menguasai
tanah dalam arti mengatur, namun juga mempekerjasamakan dengan pihak ketiga
atau swasta.
Selain itu, RUU Pertanahan
memungkinkan terjadinya perampasan hak atas tanah dengan dalih kepentingan umum
dan keadaan mendesak tanpa ada kriteria yang terang seputar dua frasa tersebut.
Tanah-tanah adat juga
terancam, sebab inventarisasi hak adat yang bersifat pasif. Masyarakat Hukum
Adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan tanah adatnya, walau pada
mestinya, secara konstitusi, dibebankan pada negara.
Hal ini diperparah pula
oleh ancaman kriminalisasi, 15 tahun penjara dan denda maksimal 15 miliar, bagi
orang/kelompok yang mempertahankan tanah dari penggusuran. RUU pertanahan juga
dipenuhi, misalnya, Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah diberikan selama 35 tahun,
bisa diperpanjang dua kali hingga total 90 tahun.
Perpanjangan HGU ini
melanggar aturan di pasal sebelumnya, yang mana tertulis hanya dapat diberikan
sekali, pengecualian itu, yang diberikan setelah pertimbangan umur tanaman,
tanpa peduli penentu keputusan ini di hari depan, sementara itu Provinsi
Lampung menjadi salah satu daerah dengan tingkat konflik agraria tertinggi di
Indonesia, hal itu menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai bagi pemerintah
daerah Provinsi Lampung.
Dalam hal ini, kata
Kristin, Aliansi Lampung Untuk Indonesia menyatakan tuntutan:
1. Hentikan kriminalitas
terhadap gerakan tani.
2. Hentikan perampasan
lahan.
3. Wujudkan reforma
agraria berkeadilan gender.
4. Tolak kebijakan yang
tidak pro rakyat (RUU pertanian, RKUHP, revisi UU ketenagakerjaan, Revisi UU
kemasyarakatan, Revisi UU minerba).
5. Cabut UU KPK hasil
revisi terbaru.
6. Tolak Capim KPK
terpilih
7. Tuntaskan pelanggaran
HAM dan kerusakan lingkungan hidup.
8. Tolak kenaikan BPJS,
BBM, dan Listrik,
9. Cabut PP No 78 tahun
2015
10. Hapus sistem kerja
kontrak dan outsourching,
11. Wujudkan pendidikan
gratis, ilmiah, dan demokratis.
12. Cabut UU ormas.
13. Hentikan Represifitas
terhadap aktivitas pro-demokrasi.
14. Selesaikan konflik
pertanahan di Lampung.
Rekomendasi :
1. Gubernur dan DPRD
Provinsi Lampung meninjaklajuti terhadap penolakan terhadap Capim KPK dan UU
KPK hasil revisi terbaru dan akan disampaikan kepada DPR RI dan Presiden.
2. Gubernur dan DPRD
Provinsi Lampung menolak paket kebijakan yang tidak pro rakyat dan disampaikan
kepada DPR RI dan Presiden.
3. Berikan kebijakan
Gubernur Lampung yang Pro kerakyatan.
4. Selesaikan konflik
pertanahan di Lampung.
Dilaporkan
oleh: Cholik