Pengusaha dan Pelaku Industri Respon Pembatasan Merek dan Kemasan Global
KATALAMPUNG.COM - Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) merespon keresahan pelaku usaha dalam negeri atas
tren kebijakan eksesif yang membatasi merek dan kemasan. APINDO bersama pelaku
usaha, konsultan dan pemerintah menggelar diskusi bersama dengan tema “Tren Peraturan Global yang Mengancam Masa
Depan Merek”, Rabu (3/10/2019) di Jakarta.
Diskusi tersebut
memfokuskan pada sejumlah isu, diantaranya paparan risiko potensial atas
kebijakan merek dari perspektif Hak Kekayaan Intelektual, pengusaha dari produk
terdampak, dan Kementerian yang mengikuti proses negosiasi internasional
bersama World Trade Organization (WTO).
Dalam hal ini, kebijakan
pembatasan merek di Indonesia disinyalir akan mengalami kondisi Slippery Slope, dimana perluasan
kebijakan ini akan menyasar bidang usaha lain yaitu produk konsumsi. Selain
itu, kebijakan tersebut akan memberatkan pelaku usaha khususnya yang memiliki
modal minim dalam bersaing dengan pemodal yang lebih besar.
Merek atau branding serta kemasan merupakan sebuah
kreasi yang menggambarkan identitas produk. Penggambaran atas rasa, kandungan
gizi, dan informasi asal produk yang ditampilkan pada kemasan, selama ini telah
menjadi salah satu faktor penting yang mendukung keputusan calon pembeli saat
memilih produk yang diinginkan.
Namun, di tengah usaha
dalam mengemas branding yang menarik, mengemuka sebuah tren pembatasan merek (brand restriction) dan kemasan polos (plain packaging) yang kini juga mulai
diberlakukan di Indonesia. Pembatasan merek dapat diterapkan dengan berbagai
cara, diantaranya dalam bentuk gambar peringatan pada kemasan. Lebih lanjut,
kebijakan ini juga merambah ranah distribusi titik penjualan dan promosi dengan
memberlakukan restriksi iklan pada produk-produk tertentu. APINDO menilai, tren
global ini perlu mendapatkan respon strategis dari para pelaku usaha dari
industri yang terancam terdampak, salah satunya industri konsumsi makanan dan
minuman.
Sekretaris Umum APINDO,
Eddy Hussy mengungkapkan, APINDO bersikap terbuka melindungi hak para pengusaha
dan konsumen Indonesia dalam menjalankan bisnis yang kondusif sesuai aturan
yang berlaku. “Tren pembatasan merek dan kemasan ini kami rasa akan sangat
membatasi ruang gerak kawan-kawan pengusaha karena akan menimbulkan
risiko-risiko lain, mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan, produk ilegal,
yang ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha,” ujarnya.
Terlebih untuk sejumlah
produk yang baru dimana ekuitas merek mereka masih rendah, Eddy menambahkan
seluruh pembatasan yang terjadi akan menyebabkan sulitnya persaingan dengan
merek-merek yang sudah lebih dahulu melekat di masyarakat. “Ini yang sebisa
mungkin kami hindari,” terangnya.
Secara global, pembatasan
merek dan kemasan telah diterapkan di beberapa negara seperti Australia,
Ekuador, Chile, Thailand dan Afrika Selatan. Kasubdit Transparansi Kesesuaian
Peraturan dan Fasilitasi, Direktorat Perundingan Multilateral, Ditjen PPI,
Kementerian Perdagangan RI, Danang Prasta mengatakan bahwa pembatasan merek di
negara tujuan ekspor perlu dilihat secara proporsional. Dalam perjanjian WTO,
setiap negara anggota berhak menerbitkan regulasi, terutama untuk melindungi
kesehatan publik atau lingkungan, selama tidak bertujuan menghambat
perdagangan.
“Hal yang harus dicermati
adalah jangan sampai regulasi tersebut menghambat perdagangan. Indonesia dapat
memanfaatkan keanggotaannya di WTO untuk memonitor regulasi tersebut, dan
mengamankan hak-hak Indonesia di negara tujuan ekspor. Keterlibatan aktif Indonesia
dalam pelaksanaan dan perundingan perjanjian perdagangan internasional di WTO
sangat diperlukan guna melindungi merek Indonesia, khususnya di pasar
internasional. Hal tersebut menjadi penting mengingat merek Indonesia yang
beredar di pasar internasional juga merupakan salah satu unsur utama dari
nation branding dan memiliki peran penting dalam peningkatan ekspor,” pungkas
Danang.
Sementara itu, risiko
terhadap kebijakan yang mencederai hak kekayaan intelektual juga disoroti oleh Asian-Pacific Chief Representative
International Trademark Association (INTA), Seth Hays dimana menurutnya
pembatasan merek memiliki sejumlah risiko jangka panjang yang sebenarnya akan
menyebabkan banyak kerugian.
"Dari banyak negara yang menolak implementasi kebijakan ini, kita dapat mengatakan bahwa kekhawatiran terbesar mereka terletak pada efek samping dari kebijakan tersebut, mulai dari potensi peningkatan perdagangan barang palsu, meningkatnya kebingungan konsumen, pelanggaran kewajiban internasional, dan kehancuran nilai merek dagang dan brand - yang dapat berdampak pada ekonomi yaitu menurunnya arus investasi asing, ancaman anti-inovasi, dan pelanggaran hak-hak konstitusional seperti kebebasan berekspresi bagi pengusaha, dan hilangnya kekuatan merek dagang. Guna meningkatkan kesadaran pemerintah dan pelaku bisnis terhadap risiko-risiko yang tidak terduga ini, INTA selalu berusaha untuk memberikan edukasi dan sosialisasi yang berfokus pada solusi untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara hak merek dagang yang telah mapan dan kepentingan kebijakan lainnya. Oleh karena itu, saya kira pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai kepentingan melalui penelitian independen dan memilih opsi yang paling moderat sebelum menerapkan kebijakan pembatasan merek dan pengemasan,” katanya.
"Dari banyak negara yang menolak implementasi kebijakan ini, kita dapat mengatakan bahwa kekhawatiran terbesar mereka terletak pada efek samping dari kebijakan tersebut, mulai dari potensi peningkatan perdagangan barang palsu, meningkatnya kebingungan konsumen, pelanggaran kewajiban internasional, dan kehancuran nilai merek dagang dan brand - yang dapat berdampak pada ekonomi yaitu menurunnya arus investasi asing, ancaman anti-inovasi, dan pelanggaran hak-hak konstitusional seperti kebebasan berekspresi bagi pengusaha, dan hilangnya kekuatan merek dagang. Guna meningkatkan kesadaran pemerintah dan pelaku bisnis terhadap risiko-risiko yang tidak terduga ini, INTA selalu berusaha untuk memberikan edukasi dan sosialisasi yang berfokus pada solusi untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara hak merek dagang yang telah mapan dan kepentingan kebijakan lainnya. Oleh karena itu, saya kira pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai kepentingan melalui penelitian independen dan memilih opsi yang paling moderat sebelum menerapkan kebijakan pembatasan merek dan pengemasan,” katanya.
Realisasi kebijakan
pembatasan merek di Indonesia telah berlaku sangat ketat pada produk tembakau.
Hal ini dikemukakan oleh Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia
(GAPPRI), Henry Najoan. Melalui PP 109/2012, pemerintah salah satunya mewajibkan
produsen produk tembakau untuk mencantumkan peringatan kesehatan bergambar
seram sebesar 40% dari total display kemasan. Bahkan, saat ini, pihak
Kementerian Kesehatan sedang mengusulkan untuk menaikkan komposisinya menjadi
90% kemasan tanpa alasan kajian yang jelas.
“Kretek merupakan produk
tembakau khas warisan budaya Indonesia. Kami selaku pelaku usaha hanya memohon
agar pemerintah adil. Kepentingan pengendalian melalui peringatan kesehatan 40%
kemasan sudah kami terima dengan berbesar hati. Jangan sampai diperluas menjadi
90% bahkan merencanakan kemasan polos tanpa bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan. Yang perlu diwaspadai juga adalah aturan turunan dari
pemerintah daerah sebagai turunan tetapi restriksinya melebihi aturan
nasionalnya. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa restriksi merek tengah
dijalankan, dan hal ini perlu menjadi perhatian bagi rekan-rekan pengusaha
lainnya. Sebagai industri yang legal, Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki
hak komunikasi sebagaimana Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 merujuk Pasal 28F UUD
1945. Saya turut berempati apabila kebijakan semacam ini diperlebar ke produk
konsumsi lainnya. Kerugian yang paling besar akan dirasakan oleh pemerintah dan
konsumen sendiri,” papar Henry.
Mengemukanya isu
pembatasan merek yang awalnya terjadi pada produk tembakau kepada produk lain
memperlihatkan bahwa Slippery Slope
telah terjadi di Indonesia. Slippery
Slope mencerminkan kemungkinan perluasan aturan ke produk-produk yang
dianggap merugikan kesehatan publik, seperti makanan yang mengandung lemak,
gula atau garam. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik
dan Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI), Rachmat Hidayat berpendapat bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih
produk yang diinginkan.
“Pengusaha makanan dan
minuman, khususnya produk ritel siap konsumsi (Ready-to-Eat/Ready-to-Drink) selalu menuliskan informasi kandungan
gizi dan nutrisi di setiap kemasan. Anggapan bahwa produk makanan dan minuman
yang beredar di pasaran adalah penyebab risiko kesehatan publik, kami rasa
tidak tepat, karena ada banyak sekali faktor pemicu risiko kesehatan, pola
hidup tidak sehat, lingkungan, sampai dengan keturunan genetis. Tidak bijak
rasanya, jika pemerintah membatasi hak seluruh konsumen berdasarkan satu sudut
pandang saja. Sudah sepantasnya kita sebagai pelaku usaha yang bertanggung
jawab menyediakan produk terbaik bagi masyarakat, untuk mengambil sikap atas
aturan yang dampaknya bisa merugikan kedua belah pihak,” ucap Rachmat.