APPSINDO Soroti Gagalnya Pengelolaan Pasar di Bandarlampung


KATALAMPUNG.COM - APPSINDO (Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia) menyoroti gagalnya Pemerintah Kota Bandarlampung dalam mengelola pasar. Hal itu terungkap saat APPSINDO melakukan audiensi di DPRD Kota Bandarlampung, Senin (9/12).


APPSINDO Soroti Gagalnya Pengelolaan Pasar di Bandarlampung


Kedatangan mereka diterima oleh Fraksi PKS DPRD Kota Bandar Lampung. Dalam pertemuan itu perwakilan APPSINDO diterima oleh Agus Djumadi dan Sopyan Sauri.

Pada kesempatan itu, Sekertaris Umum APPSINDO Lampung Kukuh Pandu Herlambang menyatakan, meskipun jumlah pasar tradisional lebih banyak dibandingkan pasar modern  (31 pasar tradisional dan 22 pasar modern), ironisnya terjadi penurunan laju PDB (Produk Domestik Bruto) Bandar Lampung yakni: 5,67 (2014), 0,27(2015), 3,60(2016) dan 3,59(2017).

“Ini menandakan adanya anomali dalam pengelolaan pasar bagaimana mungkin jumlah pasar banyak tetapi sumbangan ekonomi justru selalu menurun,” ujar Kukuh Pandu Herlambang.

Ia menilai, berdasarkan fakta-fakta ekonomi tersebut mengindikasikan terjadinya miss tata kelola Pasar tradisional sehingga tidak mampu mendorong ekonomi Bandar lampung meskipun jumlahnya yang lebih banyak dari pasar modern, namun justru tidak mampu mendongkrak ekonomi di Bandar Lampung yang dibuktikan dengan laju PDB sektor perdagangan besar dan eceran yang cendrung menurun.

“Seperti kasus pengelolaan Pasar Smep dan Bambu Kuning yang carut marut atau penggusuran pasar di Sukarame tahun 2017. Bagaimana mungkin pasar dibangun tetapi tidak jelas hak dan kewajibannya bahkan ada anggota kami yang sudah membayar kredit toko tidak memperoleh unitnya seperti terjadi di Pasar Bambu Kuning. Belum lagi di Pasar Smep sudah 4 tahun baru dibangun karena akan pilkada baru dibangun lagi,” tegasnya..

Sementara, Anggota DPRD Fraksi PKS Agus Djumadi mengatakan, memang jika melihat tidak adanya nomenklatur pasar di pemerintahan Kota Bandar Lampung menyiratkan adanya kejanggalan, terlebih PD Pasar juga ternyata tumpang tindih dengan PD Perindustrian dan Perdagangan sehingga pengelolaan pasar  tidak terfokus. “Sudah tidak ada nomenklatur atau dinas malah kerjaan pengelolaanya dibagi-bagi.”

Menurut Agus, kejanggalan ini disebabakan oleh cara pikir pemerintah daerah yang hanya berpikir serapan anggaran. Disinyalir, dihilangkan dinas pasar pada nomenklatur karena Kota Bandar Lampung sudah tergolong Kota dengan klasfikasi A sehingga perlu dikelola oleh PD (Perusahaan Daerah) agar memperoleh bagian dana transfer yang besar dari pusat.

“Namun, karena tidak didukung oleh pemikiran penciptaan sumber PAD baru sehingga PD (Perusahaan Daerah) hanya ditugasi menagih retribusi saja tanpa mempertimbangkan perbaikan sistem dan pengelolaanya terlebih tumpang tindih antar PD seperti kasus diatas sehingga kami sedang mengkaji perbaikan ini dan akan mendorong adanya dewan pasar agar kerja pengelolaan pasar lebih efektif,” tambahnya.

Wendy Aprianto selaku Ketua Bidang Ekonomi, Koperasi, dan UMKM dengan tegas menyatakan Walikota Bandar Lampung telah gagal mengelola pasar atau terjadi salah urus pasar.

Menurut Wendy, pihaknya meminta pertanggungjawaban walikota untuk menyelesaikan hal ini dengan beberapa langkah strategis yang harusnya dilakukan segenap pemangku kebijakan, seperti:

Pertama, perlunya Peremajaan Pasar Tradisional namun tetap memperhatikan kearifan pedagang, dengan skema yang menguntungkan pasar tradisional, dengan tujuan mengembalikan peran pasar tradisioanal sebagai mesin perekonomian rakyat. Kedua, membangun komunikasi yang searah antara pedagang dan pemerintah agar tercipta pembangunan ekonomi yang bertumpu pada rakyat dan dinikmati rakyat melalui pembuatan forum komunikasi pedagang.

Ketiga, membangun strategi perencanaan pengembangan pasar sesuai dengan strategi  pembangunan daerah dan visi misi kepemimpinan daerah agar tercipta model pembangunan yang sinergis antara pemerintah dan aparatur.

“Kami berharap bersama stakeholder termasuk DPRD untuk mengawal pembangunan ekonomi Bandar Lampung yang pro rakyat dan pedagang pasar. Jika ingin membangun ekonomi berbasis sumber ekonomi yang real maka perbaiki kualitas pasar tradisional, infrastruktur dan tata kelolanya. Jika itu dilakukan niscaya pasar tradisional akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru,” tambah Wendy Aprianto.(****)

Diberdayakan oleh Blogger.