Omnibus Law Perpajakan, Mampukah Menjawab Tantangan Investasi?
OPINI - Saat ini tengah
ramai perbincangan terkait Omnibus Law.
Semua perbincangan nampaknya hanya terfokus pada Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang kemudian diubah
menjadi RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Wajar memang, apabila banyak
masyarakat yang fokus terhadap RUU Cipta Kerja karena mengatur pekerja dengan
segala problematikanya.
Terlalu seringnya RUU
Cipta Kerja dibahas hingga banyak juga yang melupakan draft omnibus law yang
lain. Padahal Omnibus Law yang
fokusnya untuk menciptakan arus investasi masuk ke Indonesia tidak bicara hanya
tenaga kerja saja melainkan ada dua draft
RUU lain seperti RUU Perpajakan dan RUU UMKM. Dua draft inilah yang seolah-olah terlupakan untuk diangkat bersama,
padahal tidak kalah penting juga untuk dibahas dan dampaknya terhadap
perekonomian Indonesia.
Draft
RUU Perpajakan sudah masuk ke badan legislasi di DPR lebih awal dibanding draft RUU Omnibus Law yang lain. Dalam Rancangan Undang-Undang Perpajakan itu
Pemerintah akan menyederhanakan tujuh undang-undang. Ketujuhnya adalah UU Pajak
Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), UU
Kepabeanan, UU Cukai, dan UU Pemerintahan Daerah.
Terdapat enam cluster dan 28 pasal dalam draft RUU Perpajakan. Keenam cluster tersebut mencakup: pertama, cluster tentang menarik investasi dengan menurunkan tarif PPh Badan
dan PPh Bunga. Kedua, tentang sistem
teritorial. Ketiga, tentang subjek
pajak pribadi. Keempat, tentang cara
meningkatkan kepatuhan membayar pajak, cluster
kelima membahas pemajakan transaksi
elektronik (digital). Terakhir cluster keenam tentang insentif pajak untuk KEK.
Omnibus Law
yang satu ini, bukan lemah kritik hanya saja sedikit yang menaruh perhatian
pada pembahasan ini. Mungkin kurang menarik bagi khalayak banyak karena memang
kalau diperhatikan hanya ekonom senior saja yang menaruh perhatian terhadap RUU
Perpajakan. Ekonom seperti Faisal Basri dan Rizal Ramli menjadi yang paling
depan mengkritik rancangan undang-undang yang mengatur perpajakan di Indonesia
ini. Keduanya sepakat menolak turunnya tarif PPh Badan yang semula 25% akan
diturunkan secara bertahap menjadi hanya 20% pada tahun 2023.
Realisasi penerimaan pajak
Indonesia tahun 2019 kemarin hanya Rp 1.332,1 Triliun atau hanya 84,4% dari
target yang dicanangkan di APBN. Jika mengikuti teori permintaan mungkin
langkah menurunkan tarif pajak menjadi benar, karena kalau tarif pajak rendah
maka akan menarik investasi masuk lebih mudah. Hal ini yang dikritik oleh
ekonom senior seperti Faisal Basri yang mengatakan bahwa tarif pajak tidak bisa
dijadikan ukuran untuk menarik investasi karena China dan India dengan tarif
25% dan 25,17% masih diminati oleh investor.
Rizal Ramli dalam cuitan twitter-nya juga turut mengkritik
kebijakan penurunan tarif ini karena belum ada angka yang jelas berapa investasi
akan masuk, berapa lapangan pekerjaan yang akan terbuka secara spesifik dan
terukur.
Selain itu, Indonesia
merupakan negara dengan populasi besar di dunia. Hal ini merupakan pasar yang
sangat potensial dan cukup menjanjikan sebagai keunggulan yang ditawarkan
kepada investor. Sehingga opsi penurunan tarif menjadi kurang tepat untuk
dilakukan. Satu sisi memang kapasitas fiskal Indonesia tidak mampu menutupi
belanja negara akibat membangun infrastruktur. Oleh karenanya penarikan pajak
di luar ketentuan yang sudah ada wajib diatur seperti perpajakan transaksi digital yang sudah sangat penting untuk
segera dibahas karena akan ada penerimaan pajak yang besar dari sektor tersebut
mengingat industri digital khususnya e-commerce berkembang sangat pesat.
Walaupun RUU Perpajakan
ini menuai sedikit kritik, keberadaanya sangatlah penting dalam pembahasan
bersama dengan RUU Cipta Kerja. Penurunan tarif perpajakan tentu sangat menarik
untuk investor dan juga bagi investor yang lebih dulu menanamkan modalnya. RUU
Cipta Kerja yang banyak menuai kritik adalah pasal yang mengatur terkait upah.
Jika diperhatikan lebih mendalam kedua RUU ini menurunkan biaya produksi dan
memperbesar laba bagi investor bukan? Tentu sangat menarik untuk memulai
investasi.(****)
Omnibus Law Perpajakan, Mampukah Menjawab
Tantangan Investasi?
Oleh: Dimas Dwi Pratikno
Badan Pengawas dan
Konsultasi Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (BPK ISMEI)