Menggantungkan Harapan dengan Kelestarian Hutan
KATALAMPUNG.COM - Hutan adalah rumah bagi kehidupan mahluk hidup, karena dari hutan kita menggantungkan harapan hidup yang lebih baik di masa depan. Selain dapat memanfaatkan hasil hutan untuk kepentingan ekonomi, hutan juga berfungsi bagi kehidupan secara luas, seperti lingkungan yang sehat, pencegah terjadinya bencana alam (banjir, erosi, longsor), tersedianya air bersih dan udara yang jauh dari polusi.
Demikian
kesimpulan yang bisa diambil dari Media
Gathering yang digelar oleh CCEP (Coca-Cola
Europacific Partners) Indonesia di Kopi Sudut, Gunung Terang, Langkapura,
Bandarlampung, Senin (13/09).
Acara
yang mengusung tema “Merangkai Harapan
Untuk Keberlanjutan Hutan Sumatera” ini menghadirkan Pembicara Ardhina
Zaiza selaku Head of Corporate
Communication Coca-Cola Europacific Partners Indonesia, Ir. Yayan Ruchyansyah
selaku Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Dr. Ayi Ahadiat, S.E., M.B.A.,
selaku Korwil Indonesia Barat PP ISEI, dan Soni MD Wicaksono selaku Ketua
Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki). Dengan dipandu oleh Amirudin
Sormin dan Yayan Sopian.
Pada
kesempatan itu Ardhina Zaiza menyatakan, acara yang digagas oleh CCEP Indonesia
ini adalah sebagai bentuk perhatian CCEP dalam pelestarian hutan di Indonesia,
khususnya di wilayah Sumatera.
Menurutnya,
Coca Cola memiliki concern dalam
pelestarian hutan dengan bekerjasama multi stakeholder, dengan harapan
memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Dalam menjaga lingkungan,
pihaknya melaksanakan praktik yang berkelanjutan, daur ulang kemasan dan
pengurangan emisi karbon di seluruh rantai nilai.
Mewakili
Pemerintah Provinsi Lampung, Yayan Ruchyansyah dalam pemaparannya mengatakan,
terdapat beberapa isu dan permasalahan kehutanan di Provinsi Lampung, seperti
terjadinya illegal logging, konflik
teritorial kawasan hutan, konflik masyarakat dengan satwa liar, bencana alam
dan pengelolaan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang belum maksimal.
“Permasalahan
yang utama adalah terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan lahan usaha. Hal ini berdampak
pada pembangunan pemukiman dan pengelolaan lahan garapan secara ilegal di dalam
kawasan hutan negara,” kata Yayan.
Untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang ada, Yayan menegaskan, Pemerintah Provinsi
Lampung memiliki prisip pengelolaan hutan seperti, pertama, fungsi kawasan hutan tetap terjaga dengan mempertahankan
kawasan hutan yang masih baik, merehabilitasi kawasan hutan yang telah rusak
dan menambah tutupan hutan di luar kawasan hutan negara.
Kedua,
memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui perhutanan sosial, medorong peran
multi stakeholder dalam pengembangan usaha perhutanan sosial serta
mengembangkan multi komoditas dan jasa lingkungan kawasan hutan.
Ketiga,
pengakuan atas eksistensi kawasan hutan seperti penguatan status dan tanda
batas kawasan hutan, serta sosialisasi, edukasi keberadaan dan pemanfaatan
kawasan hutan.
Yayan
mengakui, adanya perambahan hutan dikarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak.
Untuk itu, ia berharap dengan adanya Perhutanan Sosial dapat digunakan oleh
masyarakat dengan sebaik-baiknya. “Perhutanan Sosial sangat bermanfaat bagi
masyarakat untuk menanam komoditas yang telah ditentukan. Sehingga masyarakat
dapat menikmati hasil panen dari komoditas yang ada,” ujar Yayan.
Menurutnya,
sesuai dengan PP nomor 3 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan maka Perhutanan
Sosial meliputi Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan
Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Sementara
itu, disinggung tetang harmonisasi ekonomi dan pelestarian hutan, Dr. Ayi
Ahadiat mengatakan, masyarakat dapat mengelola hasil hutan dengan meningkatkan
nilai tambah keekonomian produk perhutanan. Ia menekankan pada pengembangan
kreatifitas masyarakat tetapi tetap memperhatikan peran dan fungsi hutan.
Hal
ini digambarkan Ayi dengan tiga kata kunci yakni ekstraktif, kreatif dan hijrah ekologis. Ketiga kata kunci
tersebut dapat dijabarkan dengan memanfaatkan ekstraktif hasil hutan non kayu,
kreatifitas dalam mengelola hasil hutan sehingga memberikan nilai tambah (value added) serta hijrah ekologis
dengan mengedepankan sifat “penjaga” bukan “perusak”, yakni membangun kesadaran
ekologis yang lebih paripurna.
“Kawasan
hutan sangat bermanfaat untuk kelestarian lingkungan seperti tersedianya air
bersih. Hutan adalah titipan anak cucu kita di masa depan. Jadi hutan bukanlah
titipan nenek moyang kita terdahulu,” ujarnya.
Menurut
Ayi, keberadaan dan kelestarian hutan saat ini akan sangat berguna bagi anak
cucu di masa depan. “Jadi, dengan menjaga kelestarian hutan, kita telah menjaga
titipan anak cucu untuk mereka manfaatkan di masa depan,” terangnya.
Penegasan
tentang kewajiban untuk melestarikan hutan ini diungkapkan kembali oleh Soni MD
Wicaksono dengan mengutip Surat Al Baqoroh ayat 205 yang berbunyi, “Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia
berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan
ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”
“Jadi
saya disini mengingatkan kita semua. Kita tidak boleh merusak alam dan
lingkungan kita,” ujar Soni Wicaksono.
Praktik Perusahaan Berwawasan Lingkungan
Di
tempat terpisah, Hendra Prasetya selaku Kepala Litbang Pro-Strategic Foundation
mengatakan, langkah-langkah yang dilakukan Coca-Cola melalui CCEP Indonesia
sudah tepat. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia memang
seharusnya memiliki konsentrasi dalam pelestarian hutan dan lingkungan. Hal ini
sejalan dengan tujuan diadakannya CSR (Corporate
Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan.
“Memang
harus seperti itu, perusahaan yang berdiri di Indonesia tidak boleh hanya mengejar
keuntungan saja, tetapi juga mereka memiliki tanggung jawab sosial. Seperti,
bagaimana mereka harus menjaga lingkungan hidup. Dari dana CSR ini mereka harus
terlibat aktif dan berkontribusi terhadap kualitas lingkungan hidup di
sekitarnya,” ujar Hendra, Selasa (14/9).
Menurutnya,
kontribusi kongkrit yang bisa dilakukan melalui dana CSR meliputi rehabilitasi
alam, pengelolaan limbah berwawasan lingkungan, kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan, penggunaan sumber energi terbarukan, pengembangan SDM,
pemberdayaan ekonomi karyawan dan kegiatan volunteering
lainya.
“Untuk
rehabilitasi alam, perusahaan dapat menggunakan dana CSR seperti reboisasi
hutan, hibah bibit tanaman produktif, penanaman mangrove dan lainnya,” kata
Hendra.
Hendra
melanjutkan, kegiatan pelestarian hutan yang berkelanjutan juga merupakan salah
satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals (SDG’s). Dimana tujuan ke-15 dari SDG’s adalah
Melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan terhadap
ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi
desertifikasi (penggurunan), dan menghambat dan membalikkan degradasi tanah dan
menghambat hilangnya keanekaragaman hayati.
“Ini
menjadi tanggung jawab kita semua, apalagi upaya pelestarian hutan ini dihadapkan
pada proses pembangunan yang terus berlanjut dan permasalahan kemiskinan yang
belum tuntas sepenuhnya,” ucap Hendra.
Menjaga Keanekaragaman Hayati
Wakil
Ketua Pencinta Alam COBRA Lampung, Denrinal, mengapresiasi langkah CCEP
Indonesia dalam pelestarian hutan di Indonesia khususnya Sumatera. Ia menilai
tidak banyak perusahaan yang memiliki konsentrasi terhadap kelestarian hutan
dan lingkungan. Untuk itu, Ia meminta semua pihak dapat bekerjasama dalam
pelestarian hutan untuk menjaga keanekaragaman hayati yang ada. Menurutnya, tugas
tersebut merupakan tugas bersama, masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan
pemerintah saja.
“Saya
berharap seluruh masyarakat dapat bersinergi dalam upaya pelestarian dan
rehabilitasi hutan, agar fungsi ekologi khususnya hidrologi dapat berlangsung
baik. Urusan pelestarian alam bukanlah masalah kecil karena menyangkut masa
depan anak cucu kita mendatang. Saat kita menanam pohon, sejatinya adalah menanam
do'a, menanam harapan, menanam kerja kita untuk keberlanjutan hidup generasi
yang akan datang," ujar Denrinal, Selasa (14/9).
Ia
menambahkan, hutan berperan sebagai penyangga kehidupan, di dalamnya
menyediakan hasil hutan kayu dan non kayu, kebutuhan pangan, ketersediaan air,
sumber energi dan jasa lingkungan lainnya termasuk penghasil oksigen, rekreasi
dan konservasi keanekaragaman hayati.
“Yang
kurang terkendali saat ini, kita semua dihadapkan pada kenyataan bahwa
lingkungan hidup telah rusak. Pencemaran udara mengakibatkan langit di atas
kita kurang cerah karena penuh dengan gas polusi. Sementara itu, lahan di
sekitar kita sering terlihat gersang, dan hutan banyak yang rusak. Akibatnya,
pada musim hujan kita mengalami bencana banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau
kita mengalami kekeringan.”
“Ini
merupakan pertanda bahwa kondisi hutan dan lingkungan kita mulai rusak.
Sebagian telah rusak, sehingga tidak berfungsi secara optimal. Hutan yang rusak
tidak dapat lagi berfungsi sebagai pengatur tata air bagi kehidupan kita. Ini
berbahaya. Ini harus kita hentikan. Untuk masa depan bumi kita, untuk masa
depan anak cucu kita, karena yang kita miliki ini tidak boleh dianggap sebagai
warisan nenek moyang, tetapi adalah sesuatu yang kita pinjam, milik generasi
yang akan datang,” tambahnya.
Denrinal
menegaskan, sesuai dengan prinsip kelestarian, laju kerusakan hutan harus
dicegah sampai ambang batas minimal. Kondisi buruk itu tidak boleh dibiarkan
dan harus dihentikan mulai dari sekarang.
“Kita
harus perangi terus menerus, sehingga hutan menjadi lestari. Jika dibiarkan,
kemungkinan bencana alam dapat terjadi setiap saat. Oleh karena itu, kami
mengajak semua pihak untuk bersungguh-sungguh menghentikan penyebab kerusakan
hutan akibat penebangan liar, kebakaran hutan dan aktivitas lainnya seperti offroad di dalam kawasan hutan, perburuan
satwa dan sebagainya,” kata Denrinal.
Menanggapi
permasalahan perekonomian masyarakat sekitar hutan, Denrinal menegaskan
perlunya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Pemberdayaan itu meliputi
pemberian bibit yang unggul, penyediaan pupuk serta pendampingan pra dan pasca
panen. Upaya pemberdayaan ini juga untuk mencegah terjadinya perambahan hutan
secara ilegal dan perburuan satwa yang dilindungi.
“Mereka
juga perlu dilatih untuk mengolah hasil tanaman atau bahan baku yang ada
menjadi produk jadi. Misalnya, jika yang ditanam adalah pisang, maka
pemberdayaan yang dilakukan adalah bagaimana mengolah pisang menjadi produk
jadi yang ramah lingkungan, sehingga memiliki nilai tambah,” ucapnya.
Pemasaran,
kata Denrinal, menjadi kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Mereka butuh pasar untuk menjual hasil produk mereka. Pendampingan yang
konsisten dan berkelanjutan akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Sehingga
ada keseimbangan antara menjaga kelestarian hutan dan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat,” tutup Denrinal.
Penulis: Guntur Subing