Pengentasan Keluarga Miskin di Bidang Kesehatan, Apa yang dilakukan Pemerintah? Bagaimana Dampaknya?
KATALAMPUNG.COM - Kemiskinan diartikan sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Mengenai kesehatan, dalam menghadapi kemiskinan, seperti saat krisis ekonomi, reaksi masyarakat sangat beragam, seperti: masyarakat miskin cenderung menghindari layanan rawat jalan, menunda layanan rumah sakit, menghindari layanan khusus yang mahal, cenderung mempersingkat masa tinggal di rumah sakit, membeli setengah atau bahkan sepertiga dari obat yang diresepkan sehingga tidak sepenuhnya diobati, mencari perawatan dari orang sekitar di mana efek samping kadang-kadang dapat terjadi, ibu cenderung melahirkan di rumah dengan bantuan dukun bayi meningkatkan risiko persalinan.
Sebagai negara berkembang
dengan jumlah penduduk yang relatif besar, Indonesia juga akan membawa
permasalahan tersendiri di bidang kesehatan. Kesehatan mempengaruhi tingkat
produksi seseorang, termasuk pikiran, tubuh, dan hubungan interpersonalnya.
Kesehatan merupakan investasi yang mendukung pembangunan ekonomi dan berperan
penting dalam pengentasan kemiskinan.
UUD 1945 dan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 mengatur bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan, dan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut.
Kesehatan adalah keadaan
dinamis dimana individu beradaptasi dengan perubahan lingkungan internal dan
eksternal untuk mempertahankan keadaan sehat. Lingkungan internal terdiri dari
beberapa faktor, yaitu tingkat psikologis, intelektual dan spiritual, serta
proses penyakit.
Lingkungan eksternal terdiri
dari faktor-faktor eksternal pribadi yang mempengaruhi kesehatan, termasuk
lingkungan fisik, hubungan sosial, dan variabel ekonomi. Kedua lingkungan
tersebut selalu berubah, sehingga individu harus mampu beradaptasi untuk menjaga
kesehatannya.
Hubungan antara kemiskinan
dan kesehatan bukanlah hubungan yang sederhana, melainkan hubungan yang tidak
dapat dipisahkan antara keduanya. Kesehatan menyebabkan kemiskinan, dan
kemiskinan memiliki potensi besar untuk menyebabkan kesehatan yang buruk.
Kesehatan menyebabkan
penurunan produktivitas dan menguras tabungan rumah tangga, yang pada akhirnya
menurunkan kualitas hidup dan menyebabkan kemiskinan. Kemudian, orang miskin
pada gilirannya akan menghadapi risiko pribadi dan lingkungan yang lebih besar
dari kekurangan gizi dan kurangnya fasilitas medis. Kemiskinan menempatkan
seseorang pada kondisi kesehatan yang kurang baik.
Beberapa alasan untuk
situasi ini adalah terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap informasi dan
layanan kesehatan yang memadai, tingkat pengetahuan yang rendah, dan kurangnya
perhatian terhadap perilaku kesehatan.
Kelaparan yang mengiringi
kemiskinan membuat daya tahan tubuh masyarakat miskin semakin rentan dan
semakin menyulitkan masyarakat miskin untuk lepas dari kesehatan yang rendah.
Atau keluarkan dia dari kemiskinan, sehingga kesehatan yang buruk menyebabkan
produktivitas tidak mencukupi.
Produktivitas yang menurun
menyebabkan pendapatan semakin terbatas. Jika situasinya bencana, sumber dana
yang lebih besar diperlukan untuk menutupi biaya pengobatan. Kasus bencana
mengacu pada kasus yang terjadi ketika rasio pengelolaan kantong kesehatan
sendiri dengan kemampuan keluarga untuk membayar melebihi 40%. Pada titik ini,
kesehatan yang buruk berdampak lebih serius pada masyarakat miskin, karena
salah satu sumber daya utama yang dimiliki penduduk miskin adalah energi untuk
bekerja.
Kementerian Sosial (Kemensos)
menyalurkan bantuan sembako senilai Rp 300 ribu untuk warga di tengah pandemi
Corona (COVID-19). Bantuan sosial berupa kebutuhan pokok sehari-hari seperti
minyak goreng, beras, mie instan, susu, dan sarden kaleng. Selain menyalurkan
bantuan sembako senilai Rp 300 ribu, Kemensos juga menambah jumlah penerima
bantuan sembako lainnya di tengah masa pandemi Corona.
Kemensos menambah 4,8 juta
penerima bantuan lewat perluasan program BPNT. Penerima bansos sembako
didasarkan atas data dari Pemprov DKI Jakarta yakni 3,7 juta jiwa. Kementerian
Sosial menyalurkan bansos sembako untuk 2,6 juta jiwa, sementara 1,1 juta sudah
ditanggulangi dari APBD DKI Jakarta.
Dengan bansos sembako,
diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pokok dan menahan keinginan masyarakat agar
tidak mudik.
Masyarakat yang ingin
mendapatkan bansos sembako, bisa mendaftarkan diri terlebih dahulu melalui
pemerintah daerah (pemda) setempat, yakni melalui dinas sosial atau suku dinas
sosial. Distribusi bantuan dilakukan dengan prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk bansos tunai (BST),
Mensos Juliari menjelaskan, didistribusikan secara non tunai dilakukan melalui
rekening bank-bank Himbara dan melalui PT. Pos Indonesia.
Bantuan sosial berupa
sembako dapat meringankan beban karena sudah memenuhi kebutuhan sehari-hari
untuk makan dan minum keluarga. Bantuan berupa uang tunai tidak hanya digunakan
untuk kebutuhan sehari-hari tetapi difokuskan untuk biaya pendidikan anak.
Sejak pandemi anak-anak diharuskan belajar dari rumah (daring).
Uang tersebut digunakan
untuk membeli handphone, kuota internet, baju sekolah, sepatu, buku pelajaran,
dan benda pendukung pembelajaran. Sejak pandemi pendapatan tidak menentu dan
terus berkurang, terlebih lagi jika diharuskan bekerja dari rumah dan hal itu
membuat gaji dipotong. Biaya berobat sudah dibayarkan oleh pemerintah melalui
BPJS dan KIS sehingga bantuan ini sangat membantu ketika sakit.
Bentuk program pemerintah
dalam pengentasan keluarga miskin dalam bidang kesehatan dilakukan dengan
Bantuan Langsung Tunai (BLT), pelayanan BPJS dan KIS, serta bantuan sosial
seperti sembako. Dampak dari bantuan tersebut dirasakan oleh masyarakat,
bantuan sembako dirasa sangat membantu dibandingkan bantuan tunai.
Bantuan tunai dialokasikan
untuk berbagai kebutuhan, seperti tambahan mencari nafkah, untuk membeli
keperluan anak, dan biaya pendidikan anak. Oleh karena itu, pada strategi
bertahan hidup keluarga, responden melakukan strategi aktif dengan cara membuka
usaha warungan dan strategi jaringan dengan mengandalkan hubungan relasi untuk
kehidupan sehari-hari.
Ditulis oleh:
Galih Meyandra
Penulis adalah mahasiswa
pengampu mata kuliah Manajemen Sumber Daya Keluarga, Departemen Ilmu Keluarga
dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University.
Dosen Pengampu: Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA. & Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M. Si