ISEI Lampung Tawarkan Solusi Atasi Polemik Harga Singkong di Lampung

KATALAMPUNG.COM - Polemik turunnya harga singkong (ubi kayu) di Provinsi Lampung kembali mengemuka. Anjloknya harga singkong di Lampung terjadi berulang kali. Hal ini memicu terjadinya unjuk rasa petani menuntut kenaikan harga singkong pada Senin, 5 Mei 2025.

ISEI Lampung Tawarkan Solusi Atasi Polemik Harga Singkong di Lampung
Dari kiri ke kanan, Dr. Usep Syaipudin (Sekretaris ISEI Lampung), Dr. Agus Nompitu (Ketua ISEI Lampung)

Menyikapi hal tersebut, Ikatan Sarjana Ekonomi Indoensia (ISEI) Cabang Lampung sebagai organisasi profesi Sarjana Ekonomi terpanggil untuk memberikan pemikiran atas persoalan tersebut. Untuk itu, ISEI Cabang Lampung menggelar diskusi terbatas merespon persoalan harga singkong ini.

Diskusi dihadiri oleh Dr. Agus Nompitu, S.E., M.T.P. (Ketua), Dr. Usep Syaipudin, S.E., M.S.Ak. (Sekretaris) dan beberapa pengurus yaitu: Dr. Saring Suhendro, S.E., M.Si., Ak., Dr. Fitra Dharma, S.E., M.Si., dan Dr. Dedy Yuliawan, S.E., M.Si, Jum’at (9 Mei 2025). Melalui pesan tertulis kepada KATALAMPUNG.COM, ISEI Lampung menyatakan beberapa poin, antara lain:

Pertama, Keluarnya Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga pembelian ubi kayu (singkong) oleh industri di wilayah Lampung sebesar Rp1.350 per kilogram merupakan langkah Pemprov dalam upaya membantu petani dan mendorong terciptanya keadilan harga dan transparansi dalam tata niaga singkong.

Kedua, Respon industri tapioka Lampung yang berhenti beroperasi (27 pabrik menghentikan sementara operasinya) menunjukkan penolakan pelaku usaha tapioka atas kebiajakn tersebut. Hal ini mencerminkan adanya ketegangan antara kebijakan pemerintah daerah yang bertujuan melindungi petani dan kepentingan industri pengolahan singkong.

Ketiga, Penutupan pabrik secara mendadak ini menyebabkan petani kesulitan menjual hasil panen mereka. Singkong yang sudah dipanen tidak dapat segera diproses, berisiko membusuk, dan menimbulkan kerugian besar bagi petani. Beberapa petani mengungkapkan kebingungan harus berbuat apa dengan singkong yang sudah dipanen.

Permasalahan Utama Industri Singkong dan Tapioka di Lampung

ISEI Lampung menilai ada beberapa persoalan utama dan mendasar dalam industri singkong dan tapioka di Lampung, yaitu:

Struktur Pasar Oligopsoni, Struktur pasar singkong di Indonesia, termasuk di Lampung, cenderung masuk ke dalam kategori pasar oligopsoni, di mana hanya terdapat sedikit pembeli (industri), sementara penjualnya (petani) banyak dan tersebar. Dalam konteks ini, pembeli memiliki kekuatan tawar lebih besar daripada penjual, sehingga pembeli (industri tapioka) memiliki kekuatan untuk menentukan harga. Selain itu, struktur pasar oligopsoni ini menyebabkan terjadinya ketergantungan yang tinggi pada beberapa pabrik tertentu dan rentan terjadinya praktik monopsoni lokal, seperti pemaksaan potongan (rafaksi).

ISEI Lampung Tawarkan Solusi Atasi Polemik Harga Singkong di Lampung


Produktivitas tanaman singkong rendah. Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung menunjukkan bahwa pada tahun 2021, rata-rata produktivitas singkong di Provinsi Lampung sekitar 27 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini menyebabkan pendapatan petani singkong rendah. Berdasarkan beberapa sumber, biaya produksi singkong per hektar (termasuk biaya panen dan angkut) berkisar Rp. 20 jt, dan biaya ini bertambah besar jika lahannya harus menyewa.

Dengan data di atas, dan asumsi harga singkong Rp. 1.100 (harga terakhir sebelum kebijakan Pemprov) maka, keuntungan kotor yang diterima petani sekitar Rp. 9,7 jt. Keuntungan ini akan semakin kecil jika lahanya adalah sewa.

Kurangnya Hilirisasi dan Diversifikasi Produk. Sebagian besar singkong hanya dijual mentah ke pabrik. Minimnya industri pengolahan lanjutan (seperti tepung mocaf, bioetanol, pakan ternak) membuat nilai tambah rendah di tingkat petani, sehingga petani tidak mendapat manfaat dari rantai pasok singkong. Kondisi ini membuat petani singkong tidak memiliki alternatif pasar bagi produk hasil panennya, dan terpaksa menjual singkongnya ke pabrik meskipun harga rendah dan potongan (rafaksi) tinggi.

Regulasi dan Kebijakan yang Tidak Konsisten. Belum ada regulasi harga dasar yang melindungi petani. Instruksi Gubernur soal harga acuan tidak mampu mengikat pelaku usaha, dan pelaku usaha (dengan berbagai alasan) dapat menghindar dari kebijakan tersebut.

Tidak Adanya Kelembagaan Petani yang Kuat. Sebagian besar petani singkong beroperasi secara individual, bukan dalam bentuk koperasi atau kelompok tani aktif. Akibatnya, mereka tidak punya posisi tawar terhadap pabrik atau tengkulak. Lemahnya organisasi juga membuat mereka sulit mengakses bantuan, pelatihan, atau pasar yang lebih baik.

Tidak Ada Standardisasi Kualitas dan Penentuan Harga yang Transparan. Penilaian mutu singkong di pabrik (misalnya kadar pati) sering tidak terbuka. Rafaksi (potongan harga karena kualitas rendah) sering subjektif, dan petani tidak bisa mengajukan keberatan karena tidak punya standar/data pembanding.

Solusi atas Persoalan Singkong di Lampung

Kebijakan Pemerintah yang menetapkan harga beli minimal dan besaran potongan (rafaksi) atas singkong petani merupakan solusi jangka pendek dan bersifat sementara. Bahkan efektivitasnya pun belum maksimal. Hal ini terbukti dari respon pengusaha tapioka yang tidak mematuhi regulasi tersebut (dengan berbagai dalih), dan tidak ada sanksi atas sikap tersebut. Hal ini menyebabkan anjloknya harga singkong selalu terulang.

Untuk menyelesaikan persoalan singkong dan meningkatkan kesejahteraan petani singkong di Lampung dalam jangka panjang, dibutuhkan strategi yang komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan, menyentuh semua aspek dari hulu hingga hilir. Berikut adalah beberapa rekomendasi ISEI Cabang Lampung berupa strategi utama yang bisa dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha, dan petani itu sendiri:

Pertama, Pembenahan Tata Niaga dan Struktur Pasar. Langkah strategis yang dapat ditempuh adalah membangun kemitraan yang adil dan transparan antara petani dan pabrik, menerapkan regulasi harga minimum (floor price) untuk mencegah kerugian saat harga jatuh, mewajibkan standardisasi kualitas dan transparansi rafaksi di pabrik.

Kedua, Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Budidaya. Upaya yang dapat ditempuh adalah penyediaan benih unggul berdaya hasil tinggi dan tahan penyakit secara massal, pelatihan dan pendampingan teknis budidaya modern (pemupukan tepat, jarak tanam, dll.), perluasan akses petani ke pupuk subsidi dan alat mekanisasi pertanian, penerapan good agricultural practices (GAP) secara luas.

Pengaturan lahan dan pola tanam singkong juga dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang yang sangat strategis untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan komoditas singkong.

Ketiga, Penguatan Hilirisasi & Nilai Tambah. Upaya yang dilakukan adalah mendorong investasi dalam industri pengolahan singkong lokal (mocaf, bioetanol, tepung modifikasi, pakan ternak), membina UMKM pengolah singkong berbasis desa/koperasi, menyediakan akses pasar domestik dan ekspor bagi produk olahan, membangun sentra industri singkong berbasis klaster.

Keempat, Transformasi Kelembagaan Petani. Langkah strategisnya adalah pembentukan dan penguatan koperasi atau gabungan kelompok tani (Gapoktan), peningkatan literasi keuangan, agribisnis, dan digitalisasi petani, menyediakan akses ke pembiayaan produktif (KUR, CSR, fintech agribisnis).

Kelima, Kebijakan dan Regulasi yang Konsisten. Upaya yang dapat dilakukan adalah menetapkan kebijakan singkong sebagai komoditas pangan strategis nasional, sinkronisasi dan koordinasi antar instansi (Kementan, Pemda, BUMN, BUMD, dll), mendorong lahirnya payung hukum khusus bagi tata niaga dan industri singkong.(isei)

Diberdayakan oleh Blogger.