Meski Anggaran Naik, Investasi Infrastruktur Indonesia Masih Rendah

JAKARTA, katalampung.com - Meski anggarannya terus naik, investasi Indonesia pada sektor infrastruktur masih tergolong rendah. Padahal, infrastruktur amat dibutuhkan setiap negara yang ingin memacu perekonomian dan menjadi negara maju.


Meski Anggaran Naik, Investasi Infrastruktur Indonesia Masih Rendah


Ekonom UGM Denni Puspa Purbasari mengatakan, paling tidak ada dua indikator untuk menunjukkan rendahnya investasi infrastruktur Indonesia. Dari segi perbandingan produk domestik bruto (PDB) per kapita, Indonesia tertinggal dibandingkan Malaysia, Thailand, dan China.

“Perekonomian negara-negara itu tergolong baik,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Politik, Pembangunan, dan Infrastruktur” yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik, Rabu (29/11), di Jakarta.

Baca Juga: Tantangan Ekonomi dan Sektor Jasa Keuangan Indonesia Tahun 2018

Indonesia juga tertinggal bila diukur dari cadangan modal publik.  Rata-rata negara maju memiliki 28.000 dollar AS per kapita. Sementara negara berkembang rata-rata 9.000 dollar AS per kapita. Adapun Indonesia hanya 3.900 dollar AS per kapita.

Bila mengacu ke ukuran dalam negeri sekali pun, Indonesia masih amat kekurangan. Dengan asumsi rata-rata 20 persen pendapatan dibelanjakan untuk Infrastruktur, Indonesia menghabiskan total 113 miliar dollar AS hingga 2019.  

Bahkan, jika seluruh kenaikan pendapatan dihabiskan untuk infrastruktur sekali pun, Indonesia hanya membelanjakan 390 miliar dollar AS. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah menargetkan alokasi belanja infrastruktur 450 miliar dollar AS.

“Karena itu, wajar pemerintah sekarang menggenjot belanja infrastruktur. Dibandingkan APBN 2014, ada kenaikan 164 persen pada APBN 2018 menjadi 409 triliun,” kata Denni Puspa Purbasari.

Pembangunan infrastruktur tidak bisa ditunda lagi. Sebab, infrastruktur adalah salah satu syarat mutlak bagi setiap negara yang ingin naik kelas menjadi negara industri dan negara maju.

“Infrastruktur seperti pot dan perekonomian adalah pohonnya. Pohon perekonomian Indonesia berpotensi tumbuh besar kalau potnya besar dan memadai. Kalau potnya kecil, pohonnya sulit tumbuh,” ujarnya.

Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu alasan konflik agraria. Sebab, penyediaan lahan untuk aneka proyek infrastruktur masih fokus pada ganti rugi saja. Padahal, peraturan soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum membuka pilihan lain.

“Masyarakat di sekitar lokasi bisa diajak menjadi pemegang saham proyek infrastruktur itu,” kata Iwan.

Baca Juga: Korporasi dan Korupsi Sektor Bisnis 

Pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur jangan hanya menyasar milik warga yang semakin terbatas. Dari 28 juta rumah tangga petani di Indonesia, ada 11 juta keluarga tidak punya lahan. Sementara di sisi lain, 0,2 persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset pertanahan.

“Aneh kalau pengadaan lahan untuk proyek infrastruktur disebut sulit. Buktinya perkebunan sawit terus meluas, proyek swasta seperti Meikarta mudah dapat lahan,” kata dia.

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, masyarakat puas dengan kinerja pemerintah di bidang infrastruktur. Akan tetapi, tingkat kepuasan hanya 68 persen dan sulit naik lagi. 

Baca Juga: Jim Yong Kim: Perdagangan Mulai Naik, Tapi Investasi Tetap Lemah 

“Pemerintah perlu pendekatan lain untuk menaikkan tingkat penerimaan oleh masyarakat,” ujarnya.

Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah menunjukkan bahwa infrastruktur adalah instrumen keadilan. Karena itu, pemerintah jangan hanya sibuk meresmikan proyek tol atau proyek lain yang akan diakses kelompok terbatas.

Pemerintah juga harus memastikan pembangunan infrastruktur bisa menyediakan lapangan kerja dan menggerakan perekonomian. Tidak kalah penting pula mengampanyekan pembangunan infrastruktur sebagai upaya membangun peradaban. Seperti pembangunan MRT adalah kesempatan memiliki tanda peradaban maju.
Diberdayakan oleh Blogger.