Juniardi Paparkan Kode Etik Jurnalistik, Kebebasan Pers dan Profesi

BANDARLAMPUNG, katalampung.com - Dalam bidang jurnalistik, kode etik sangat diperlukan karena adanya tuntutan yang sangat asasi, yaitu kebebasan pers. Tetapi Wartawan kerap lupa atau sengaja melupakan hak orang lain sehingga dapat merugikan profesinya. 


Juniardi Paparkan Kode Etik Jurnalistik, Kebebasan Pers dan Profesi


Hal itu dikatakan Wakil Ketua PWI Lampung Bidang Pembelaan Wartawan, Juniardi, kepada insan pers di Lampung, saat menjadi pembicara tetang Kode Etik Jurnalistik, di Aula Pertemuan Tabek Indah, Natar, Lampung Selatan, dalam acara Sosialisasi OJK Lampung Kepada Insan Media di Lampung, Kamis, 7 Desember 2017.

Menurut Juniardi, kode etik merupakan panduan etika kerja sekaligus panduan moral yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi profesi. Sebagian orang menyamakan kode etik dengan kode kehormatan, deklarasi hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip atau standar profesi.

Baca Juga: OJK Ajak Media Jadi Partner

"Padahal, kode etik dibuat untuk melindungi organisasi dan anggota seprofesinya dari tekanan atau hal-hal yang merugikan," kata Juniardi.

Wartawan, kata Juniardi wajib memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik membatasi wartawan tentang apa yang baik dan tidak baik diberitakan.

"Kode etik jurnalistik sebagai acuan dasar yang berisi pedoman etika dalam pelaksanaan tugas dan perilaku jurnalistik. Karena itu, sanksi bagi pelanggarnya diberikan oleh asosiasi profesi wartawan bersangkutan," ujarnya. 

Sanksi ini, katanya lebih bersifat moral. Wartawan yang melanggarnya akan disebut tidak bermoral, dikucilkan dari kehidupan media pers atau diskors.

Agar dapat menghindari pelanggaran kode etik, misalnya nama korban asusila perlu dilindungi identitas korban pelecehan atau perundungan seksual agar mereka tidak mengalami trauma berkepanjangan.

Namun dalam kenyataannya masih saja banyak pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh jurnalis seperti pada berita yang masih ditemukan berita yang menulis identitas korban seksual, bahkan lengkap dengan usia maupun alamatnya.

Pada berita tersebut, wartawan telah melanggar kode etik jurnalistik pada pasal 5. Pada pasal 5 dikatakan, Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. 

Disini identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Dengan menyebutkan identitas korban asusila tersebut, wartawan secara tidak langsung telah ikut menyebarluaskan informasi yang merusak nama baik korban dan secara otomatis juga telah merusak masa depan korban asusila itu sendiri. 

Juniardi menjelaskan, ada dua model faktor pelanggaran kode etik,  yaitu kesengajaan dan tidak sengaja. 

Jika pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena faktor ketidaksengajaan, termasuk dalam pelanggaran kategori 2, artinya masih dimungkinkan adanya ruang yang bersifat toleransi. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna. Sehebat-hebatnya satu media pers, bukan tidak mungkin suatu saat secara tidak sengaja atau tidak sadar melanggar Kode Etik Jurnalistik. 

Dalam kasus seperti ini, biasanya setelah ditunjukkan kekeliruan atau kesalahannya, pers yang bersangkutan segera memperbaiki diri dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik dengan benar, bahkan kalau perlu dengan kesatria meminta maaf.

Memang, pers yang baik bukanlah pers yang tidak pernah tersandung masalah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Tetapi, pers yang setelah melakukan pelanggaran itu segera menyadarinya dan tidak mengulangi lagi serta kalau perlu meminta maaf kepada khalayak.

Sebaliknya, jika pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang disengaja dan termasuk dalam pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang berat. Sebagian pelanggarnya bahkan tidak segera mengakui pelanggaran yang telah dibuatnya setelah diberitahu atau diperingatkan tentang kekeliruannya. Berbagai macam argumentasi yang tidak relevan sering mereka kemukakan. 

"Biasa yang sengaja setelah mendapat ancaman sanksi yang lebih keras lagi, sang pelanggar dengan tepaksa mau mengikuti aturan yang berlaku," katanya.(rls)
Diberdayakan oleh Blogger.