Kemenkeu Beri Peringatan Penggunaan Mata Uang Virtual di Indonesia
Nufransa mencatat perkembangan mata uang virtual (cryptocurrency) berbasis distributed ledger technology, seperti
Bitcoin, yang semakin marak telah menjadi perhatian berbagai otoritas keuangan
dunia mengingat resiko yang besar, tidak hanya bagi masyarakat penggunanya
namun juga dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan.
Baca Juga:
Akan Dilarang BI, Bitcoin Tak Khawatir
Mata Uang Digital Bukanlah Alat Pembayaran Yang Sah
Potensi Jadi Alat Kejahatan, BI Larang Penggunaan Bitcoin Mulai 2018
Baca Juga:
Akan Dilarang BI, Bitcoin Tak Khawatir
Mata Uang Digital Bukanlah Alat Pembayaran Yang Sah
Potensi Jadi Alat Kejahatan, BI Larang Penggunaan Bitcoin Mulai 2018
Menurutnya, Kementerian Keuangan menegaskan penggunaan
mata uang virtual sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki
landasan formal.
“Mengacu pada Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang, ditegaskan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan
pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi
keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah,”
tulis Nufransa.
Oleh karena itu, tambahnya, Kementerian Keuangan
mendukung kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan sistem
pembayaran untuk tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang
sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.
“Mengingat belum adanya otoritas yang mengatur dan
mengawasinya, penggunaan mata uang virtual rawan digunakan untuk transaksi
ilegal, pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kondisi transaksi semacam ini
dapat membuka peluang terhadap tindak penipuan dan kejahatan dalam berbagai
bentuknya yang dapat merugikan masyarakat,” ujar Nufransa.
Lebih lanjut Nufransa menjelaskan, selain resiko yang
diperoleh dari memiliki dan/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang
memiliki ketidakjelaan underlying asset
yang mendasari nilainya, transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat
menimbulkan resiko penggelembungan nilai (bubble)
yang tidak hanya merugikan masyarakat namun juga berpotensi terganggu
stabilitas sistem keuangan.
“Kementerian Keuangan senantiasa bekerja sama dengan
otoritas keuangan lainnya untuk mencermati secara seksama perkembangan
penggunaan mata uang virtual ini dan mengambil langkah-langkah terukur yang
diperlukan untuk memitigasi resiko peredaran dan penggunaan mata uang virtual
dalam rangka menjaga kepentingan masyarakat serta menjaga kredibilitas dan
stabilitas sistem keuangan,” tutup Nufransa.(KMK/dde)